KOMPAS.com - KKN di Desa Penari menjadi topik perbincangan hangat di jagat maya dalam sepekan terakhir.
Kisah horor yang menceritakan tentang perjalanan KKN Ayu, Nur, Widya, Wahyu, Bima, dan Anton itu tak cuma membuat bulu kuduk merinding, tapi sebenarnya ada pesan moral dan maksud di baliknya.
Berkaitan dengan hal ini, Kompas.com menghubungi peneliti folklor dari Universitas Indonesia (UI), Sunu Wasono.
Sunu berkata, di beberapa daerah Indonesia memang masih banyak cerita-cerita yang berkaitan dengan mitos berkembang di masyarakat Indonesia.
Baca juga: Alasan Baca KKN di Desa Penari Bermanfaat untuk Anda, Menurut Sains
Di dalam cerita rakyat tersebut, seringkali ada larangan dan aturan tertentu yang tidak boleh dilanggar.
"Di beberapa tempat, saya kira cerita seperti itu memang ada. Dan jenisnya beragam," ujar Sunu kepada Kompas.com, Minggu (1/9/2019).
Jenis beragam yang dimaksud Sunu adalah jenis larangan dan aturan di suatu daerah.
Misalnya saja, ada larangan mengambil ikan di suatu kolam atau mata air tertentu, atau larangan tidak boleh mengenakan baju berwarna hijau di laut selatan Jawa.
Menurut Sunu, semua larangan itu memiliki maksud dan tujuan di masa lalu dan masih memiliki manfaat hingga saat ini.
"Mungkin saja tidak boleh menangkap ikan di kolam atau mata air karena menjaga solidaritas atau agar ikan bisa dinikmati bersama, atau agar ikan berkembang biak," kata Sunu.
"Kemudian larangan memakai baju hijau di pantai selatan yang dikaitkan bisa menyaingi Nyi Roro Kidul. Kalau rasionalisasinya, barang kali itu bertujuan bila terjadi sesuatu yang tidak diinginkan seperti terseret ombak, kalau baju (korban) hijau kan susah untuk dikenali," terang Sunu.
Oleh sebab itu, selama larangan di suatu daerah masih dijalankan masyarakat setempat, Sunu menyarankan agar kita menghormati aturan-aturan tersebut.
"Karena menghormati aturan-aturan setempat, supaya tidak terjadi konflik, supaya tidak ada yang tersinggung aturan di wilayahnya dilanggar. Saya kira lebih baik kita menghormati saja," ujar Sunu yang juga kaprodi Sastra Indonesia FIB UI itu.
Sunu menuturkan, hingga saat ini masih ada banyak cerita mitos berisi larangan di daerah-daerah Indonesia, terutama daerah yang jauh dari perkotaan.
Menurut Sunu, cerita atau mitos yang berkembang di masyarakat itu seperti tata nilai dan norma yang berlaku di masyarakat. Inilah yang membuat kita harus menghormati dan mengikuti aturan maupun larangan tersebut.
Baca juga: Punakawan Jadi Saksi Jokowi Bertemu Prabowo, Ini Makna di Baliknya
Sunu berkata, bagi orang-orang yang sangat rasional tetap harus menghormati orang lain.
"Tekanannya bukan pada ini masuk akal atau itu tidak masuk akal. Namun kita hormati saja. Bagaimanapun juga, bagi masyarakat setempat atau orang yang hidup di situ, kepercayaan seperti itu ada. Mungkin (larangan dan mitos) terkait dengan leluhur mereka, dan aturan itu ada untuk menghormati leluhur mereka," kata Sunu.
"Kita tanggalkan keegoan kita, kesombongan kita, untuk memahami orang lain," imbuh dia.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.