Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Tentukan Pilihanmu
0 hari menuju
Pemilu 2024
Kompas.com - 30/07/2019, 18:06 WIB

KOMPAS.com - Beberapa bulan terakhir, media sosial Indonesia dibanjiri dengan tawaran kelas menurunkan berat badan secara online maupun jasa-jasa katering untuk diet.

Sebagian menampilkan dan menjual materi yang konvensional, seperti defisit kalori melalui pengaturan pola makan dan berolahraga; sedangkan sebagian lainnya menggunakan teknik menurunkan berat badan yang terdengar kontroversial, tetapi menarik untuk dicoba, misalnya diet ketogenik atau keto.

Diet keto banyak dipasarkan sebagai diet yang jauh dari kata sengsara. Pasalnya, pengikut diet keto masih diperbolehkan makan makanan tinggi lemak, seperti keju, yang biasanya pantang dimakan kalau ingin menurunkan berat badan.

Namun, jangan salah paham. Bila tidak diawasi secara benar, diet keto bukannya akan menurunkan berat badan, tetapi malah meningkatkan risiko penyakit yang disebabkan oleh konsumsi lemak berlebih.

Untuk itu, mari kita pahami mekanisme diet keto lebih dalam agar tidak salah kaprah!

Baca juga: Sains Diet, Bagaimana Memenuhi Kebutuhan Protein kalau Vegetarian?

Tubuh kita memperoleh sebagian besar energi dari tiga jenis makronutrien, yaitu karbohidrat, protein, dan lemak.

Karbohidrat merupakan penyedia sumber energi secara instan. Ketika dibatasi jumlahnya hingga tidak dapat memenuhi kebutuhan energi tubuh, maka tubuh terinisiasi untuk memulai proses glukoneogenesis.

Proses glukoneogenesis ini merupakan proses pembentukan glukosa dengan menggunakan material non-karbohidrat sebagai bahan bakunya, misalnya lemak.

Ditulis oleh Brody Holmer dalam HVMN.com, ketika kadar gula dalam darah menurun drastis, tubuh kita menunjukkan banyak sinyal, seperti turunnya hormon insulin dan meningkatnya kortisol dan glukagon.

Ketika tidak ada lagi cadangan gula yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan energi, sinyal-sinyal ini menyebabkan terlepasnya lemak dari jaringan adiposa, letak lemak disimpan dan disederhanakan menjadi Free Fatty Acid (FFA) atau asam lemak bebas untuk kemudian dilepaskan ke dalam darah.

Baca juga: Sains Diet, Kuning Telur Perlu Dihindari atau Tidak?

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Rekomendasi untuk anda
27th

Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!

Syarat & Ketentuan
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE
Laporkan Komentar
Terima kasih. Kami sudah menerima laporan Anda. Kami akan menghapus komentar yang bertentangan dengan Panduan Komunitas dan UU ITE.
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Verifikasi akun KG Media ID
Verifikasi akun KG Media ID

Periksa kembali dan lengkapi data dirimu.

Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.

Lengkapi Profil
Lengkapi Profil

Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+