JAKARTA, KOMPAS.com – Kasus polisi mengeluarkan senjata api hingga membahayakan nyawa orang lain kembali terjadi.
Kali ini, kasusnya adalah seorang polisi menembak polisi lainnya di Cimanggis, Depok, Jawa Barat.
Brigadir RT menembakkan 7 butir peluru ke tubuh rekannya, Bripka RE, hingga tewas di tempat, Kamis (25/7/2019).
Tindakan ini dilakukan RT karena tersulut emosi menanggapi perkataan yang diucapkan RE sebelum kejadian.
Peristiwa aparat menyalahgunakan senjatanya untuk kepentingan di luar tugas pernah beberapa kali terjadi.
Pada 14 Juli 2019, seorang anggota polisi di Aceh Singkil yang menembak seorang pemuda hingga tewas saat menyaksikan hiburan organ tunggal.
Baca juga: Kapolres Akui Anggotanya Tembak Seorang Pemuda di Aceh Singkil
Menurut Psikolog Forensik Klinis Adityana Kasandra Putranto, peristiwa ini menunjukkan kapasitas mental aparat yang bersangkutan dalam kondisi tidak stabil.
Ia mengatakan, seharusnya dilakukan pemeriksaan mental secara periodik terhadap aparat yang dipersenjatai.
“Bahwa kompetensi mental individu yang memiliki kewenangan untuk menyimpan dan menggunakan senjata api seharusnya menjalani proses pemeriksaan secara periodik. Jelas enggak ada kok pemeriksaan periodik,” kata Kasandra saat dihubungi Kompas.com, Jumat (26/7/2019).
Selain itu, Kasandra juga menyebut sistem dan kebijakan di Indonesia terkait pengendalian senjata api masih lemah.
Baca juga: Kasus Polisi Tembak Polisi, Polri Akan Cek Urine dan Kondisi Psikologi Pelaku
Dua hal ini membuat peristiwa penyalahgunaan senjata api oleh aparat masih berulang.
“Kekuatan yang besar mendatangkan tanggung jawab yang lebih besar,” ujar dia.
Kasandra mengatakan, pemeriksaan kesehatan mental para aparat penting dilakukan secara berkala agar kondisi psikologisnya terus terpantau.
Dengan demikian, akan diketahui apakah seseorang masih layak dipercayai untuk memegang senjata atau tidak dalam menjalankan tugasnya.