Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 26/07/2019, 13:59 WIB
Luthfia Ayu Azanella,
Inggried Dwi Wedhaswary

Tim Redaksi


JAKARTA, KOMPAS.com – Kasus polisi mengeluarkan senjata api hingga membahayakan nyawa orang lain kembali terjadi.

Kali ini, kasusnya adalah seorang polisi menembak polisi lainnya di Cimanggis, Depok, Jawa Barat.

Brigadir RT menembakkan 7 butir peluru ke tubuh rekannya, Bripka RE, hingga tewas di tempat, Kamis (25/7/2019).

Tindakan ini dilakukan RT karena tersulut emosi menanggapi perkataan yang diucapkan RE sebelum kejadian.

Peristiwa aparat menyalahgunakan senjatanya untuk kepentingan di luar tugas pernah beberapa kali terjadi.

Pada 14 Juli 2019, seorang anggota polisi di Aceh Singkil yang menembak seorang pemuda hingga tewas saat menyaksikan hiburan organ tunggal.

Baca juga: Kapolres Akui Anggotanya Tembak Seorang Pemuda di Aceh Singkil

Menurut Psikolog Forensik Klinis Adityana Kasandra Putranto, peristiwa ini menunjukkan kapasitas mental aparat yang bersangkutan dalam kondisi tidak stabil.

Ia mengatakan, seharusnya dilakukan pemeriksaan mental secara periodik terhadap aparat yang dipersenjatai.

“Bahwa kompetensi mental individu yang memiliki kewenangan untuk menyimpan dan menggunakan senjata api seharusnya menjalani proses pemeriksaan secara periodik. Jelas enggak ada kok pemeriksaan periodik,” kata Kasandra saat dihubungi Kompas.com, Jumat (26/7/2019).

Selain itu, Kasandra juga menyebut sistem dan kebijakan di Indonesia terkait pengendalian senjata api masih lemah.

Baca juga: Kasus Polisi Tembak Polisi, Polri Akan Cek Urine dan Kondisi Psikologi Pelaku

Dua hal ini membuat peristiwa penyalahgunaan senjata api oleh aparat masih berulang.

“Kekuatan yang besar mendatangkan tanggung jawab yang lebih besar,” ujar dia.

Kasandra mengatakan, pemeriksaan kesehatan mental para aparat penting dilakukan secara berkala agar kondisi psikologisnya terus terpantau.

Dengan demikian, akan diketahui apakah seseorang masih layak dipercayai untuk memegang senjata atau tidak dalam menjalankan tugasnya.

Proses kerja otak yang picu tindak kekerasan

Otak manusia.Shutterstock Otak manusia.

Seperti diberitakan Kompas.com mengutip The Conversation, dalam otak manusia terdapat 2 bagian yang masing-masing mengatur rasa takut dan nafsu.

Dua bagian itu adalah amigdala dan hipotalamus yang membuat manusia mampu memiliki kemampuan bertahan hidup.

Dalam keadaan mengancam dan membahayakan, amigdala akan merangsang rasa takut yang kemudian mengaktifkan bagian hipotalamus yang memunculkan nafsu.

Hipotalamus akan mengatur kelenjar hormonal seperti hipofisis yang merangsang kelenjar adrenal dan menghasilkan adrenalin.

Adrenalin akan membuat detak jantung semakin cepat sehingga meningkatkan persediaan oksigen dalam darah dan mengubah cadangan glukosa menjadi energi.

Baca juga: Neurosains Jelaskan Cara Kerja Otak Sulut Kerusuhan 22 Mei 2019

Dalam waktu cepat, otak akan memutuskan melakukan tindakan dengan probabilitas tertinggi untuk menyelamatkan dirinya dari kondisi mengancam.

Tindakan ini, salah satu di antaranya bisa berupa tindak kekerasan karena kekerasan ini dianggap menjadi cara yang dapat melindunginya dari bahaya.

Proses ini banyak dipengaruhi oleh cara kerja otak kuno manusia.

Oleh karena itu, untuk mencegah terjadi tindak kekerasan secara berlebihan, manusia harus juga mengaktifkan otak besarnya untuk mengimbangi cara kerja otak kuno yang begitu cepat sehingga mengabaikan logika.

Sumber: KOMPAS.com/Daspriani Y. Zamzami, Shierine Wangsa Wibawa

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com