KOMPAS.com - Digital membawa pencerahan, begitu selalu dikatakan. Betul di satu sisi. Tapi tidak di sisi lain. Masalah menu tulis tangan Garuda Indonesia yang membawa Rius Vernandes ke polisi membuktikannya.
Berkat digital, kita punya Gojek, bisa bantu orang lewat Kitabisa.com, dan bisa bikin petisi lewat Change.org. Namun di sisi lain, berkat digital, masalah juga jadi bertambah.
Kasus menu tulis tangan Garuda Indonesia dan Rius Vernandes cuma salah satu dari tiga kasus viral yang terjadi belakangan yang menguak sisi gelap digital. Kok bisa dikatakan sisi gelap? Berikut penjelasannya.
Menu Tulis Tangan Garuda dan Rius Vernandes
Di negara demokrasi, kita berhak bicara, berhak mengkritik. Ini berlaku di media apapun. Mau demonstrasi di jalanan (asal tka bikin ricuh) sampai protes di Facebook, Twitter, atau Instagram.
Namun kebebasan untuk bicara di media digital terancam karena kita punya pasal karet di Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Baca juga: Dari Menu Tulis Tangan Garuda dan Rius Vernandes, Mengenal Hak Digital Kita
Tahun 2009, Prita Mulyasari mengeluh atas pelayanannya di RS Omni Alam Sutera. Dia pun akhirnya dipenjara karena dituduh mencemarkan nama baik.
Selama berbulan-bulan, kita siduguhi berita tentang Baiq Nuril yang dituntut penjara sebab merekam omongan yang melecehkannya untuk bukti.
Kini Rius yang sekadar mengunggah menu tulis tangan di kelas bisnis Garuda Indonesia dituduh mencemarkan nama baik.
Tiga kasus itu menunjukkan bahwa digital belum sepenuhnya menjadi ruang bebas berekspresi secara bertanggung jawab. SAFENet meminta agar UU ITE dikaji ulang dan beberapa pasalnya dihapuskan.
Video Ikan Asin Galih Gnanjar
Video ikan asin yang melibatkan Galih Ginanjar, Rey Utami, dan Pablo Benua juga menjadi bukti kegelapan dunia digital. Kenapa?
Salah satu cita-cita digital adalah kemanusiaan. Contohnya, memberi akses bagi warga pelosok untuk mendapatkan informasi dan edukasi.
Tapi lihat konten video ikan asin. Youtube yang bisa dipakai sebagai media edukasi justru digunakan untuk menyebarkan konten yang, menurut pengamat gender Sri Habsari dari UNS, melecehkan wanita.
Baca juga: Menu Tulis Tangan Garuda dan Rius Vernandes, Kapan Kita Dibilang Cemarkan Nama Baik?
"“Video tersebut justru tidak lagi mencerminkan nilai budaya Indonesia. Video tersebut malah mengingatkan saya sitkom Family Guy (asal Amerika Serikat) yang kental dengan unsur misogini,” kata Habsari.
"Bagi pria yang misoginis, perempuan hanya obyek belaka, diberi uang, dicukupi, tapi hanya sebagai obyek seks,” imbuhnya kepada Kompas.com pada Kamis (11/7/2019)
Video ikan asin bukan satu-satunya konten buruk di dunia digital. Dalam banyak kasus, kita justru menyebar konten yang tak penting. Misalnya video Youtube soal bayi minta es krim yang viral beberapa bulan lalu.
Monyet Cukur Rambut
Masih ingat viral soal monyet cukur rambut? Ketika mengetik monyet cukur rambut, maka kita akan menemukan wajah Presiden Jokowi.
Baca juga: Pelaporan Rius Vernandes Terkait Menu Tulis Tangan Garuda, Bentuk Pelanggaran Hak Digital?
Kenapa ini disebut sisi gelap digital? Bukan karena melecehkan Presiden Jokowi-nya tetapi lebih pada soal "kok bisa Google mengira Presiden Jokowi monyet?"
Usman Hamid dari Amnesty International yang menekuni komputasi kritis dalam studi pasca-sarjananya mengatakan, "kasus monyet cukur rambut menunjukkan bahwa algoritma Google tidak sempurna."
Masalah mungkin tak terlalu berat jika yang dikira monyet adalah Presiden Jokowi. Dia adalah figur yang punya kekuasaan.
Tapi bagaimana jika yang dikira monyet adalah orang kulit hitam? Itu akan menguatkan stereotipe yang selama ini dilekatkan pada ras itu.
Dan nyatanya, itu telah terjadi. tahun 2015, Google dikritik habis-habisan sebab foto perempuan kulit hitam muncul saat pengguna mengetik "gorilla".
Usman yang dihubungi Kompas.com pada Jumat (5/7/2019) lalu mengatakan, "Google harus menyempurnakan algoritmanya. Masalah yang banyak dikritik selama ini berakar pada face recognition-nya."
Baca juga: Unggahan Kartu Menu Tulis Tangan Kelas Bisnis Garuda yang Berujung Pelaporan ke Polisi
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.