Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mengenal Penyakit Jantung Bawaan, Kelainan Bawaan Paling Umum di Indonesia

Kompas.com - 17/07/2019, 19:28 WIB
Shierine Wangsa Wibawa

Penulis

KOMPAS.com – Tahukah Anda, penyakit jantung bawaan (PJB) merupakan kelainan bawaan yang paling sering terjadi di Indonesia? Menurut data Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) tahun 2014, sekitar 7-8 bayi di antara 1.000 lahir dengan penyakit jantung bawaan.

Dokter Winda Azwani, Sp.A(K), Ahli Jantung Anak RSAB Harapan Kita dan Ketua Kelompok Kerja Kardiologi Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Jaya, menjelaskan dalam Forum Diskusi Philips “Atasi Penyakit Jantung Anak Sejak Dini”, Jakarta, Rabu (17/7/2019), bahwa hingga kini, penyebab PJB belum diketahui.

Namun, ada beberapa faktor risiko yang dapat meningkatkan kemungkinan bayi mengalami PJB, seperti ibu dengan penyakit diabetes melitus dan menggunakan suntik insulin, ibu dengan penyakit epilepsi dan mengonsumsi obat anti kejang, serta ibu yang memakai asam retinoid selama kehamilan.

“Itu yang sudah ada penelitiannya. Tapi masih banyak (faktor risiko) yang belum diketahui. Jadi, memang preventif pada jantung bawaan kalau menurut kami adalah early detection (deteksi dini). Memang sudah terjadi (PJB), tetapi kalau sudah ketahuan lebih dini, hasilnya bisa lebih bagus,” ujarnya.

Baca juga: Alasan Antrian Operasi Jantung Anak di Harapan Kita Capai 1.100 Orang

Deteksi dini dapat dilakukan sejak janin masih dalam kandungan melalui fetal echocardiography. Selain itu, pemeriksaan USG juga bisa menangkap karakteristik membuat janin berisiko lebih tinggi mengalami jantung bawaan, seperti ukuran janin yang cenderung kecil dan berbibir sumbing. 

Bila sudah lahir, kelompok yang paling berisiko terkena PJB adalah bayi yang prematur, bayi dengan penyakit sindrom dan bayi dengan kelainan kongenital atau kelainan bawaan sejak lahir.

Tanda awal PJB yang wajib dicurigai oleh orangtua adalah warna biru pada area mukosa bibir, meskipun bayi tidak kedinginan. Warna biru pada area tersebut bisa disebabkan oleh adanya gangguan pada jantung yang kompleks (tipe sianotik), paru-paru dan sistem pusat atau sentral.

Untuk memastikannya, dr Winda menyarankan untuk melakukan pemereksiaan ekokardiografi atau USG jantung.

Namun kalaupun mukosa anak tidak biru, orangtua wajib curiga ketika berat badan tidak naik-naik sejak masih berusia 2-3 bulan.

Baca juga: Penyakit Jantung Bawaan Bisa Terjadi Meski Orangtua Sudah Hidup Sehat

Pasalnya, seperti yang telah dijelaskan dalam artikel Kompas.com sebelumnya, Rabu (17/7/2019), penyakit jantung bawaan yang tipe asianotik atau sederhana sekali pun, seperti adanya lubang atau penyempitan pada jantung, membuat jantung bekerja lebih keras.

Akibatnya, kalori dari makanan yang seharusnya digunakan untuk bertumbuh malah dihabiskan untuk kerja jantung.

PJB juga bisa membuat anak bernapas cepat ketika tidur. “Mungkin enggak sesak, karena (PJB) belum tentu sampai sesak. Justru kalau sesak itu mungkin bukan dari jantung, tetapi dari pernapasan,” ujar dr Winda.

Anak yang mudah sakit-sakitan karena daya tahan tubuhnya lemah juga harus diperiksakan kesehatan jantungnya.

Selain itu, orangtua juga harus curiga ketika anak berhenti-berhenti ketika menyusu. “Mungkin dia capek sehingga tidak bisa lama menyusu. Itu dikonsultasikan ke dokter anak, nanti dokter anaknya akan merujuk ke dokter jantung,” katanya lagi.

Penanganan PJB dibagi menjadi dua, yakni operasi dan intervensi berupa kateterisasi yang sama-sama bisa dilakukan sejak bayi berusia dua minggu. Untuk menentukan yang mana, dokter jantung anak harus melakukan ekokardiografi terlebih dahulu.

Baca juga: Cegah Thalassemia, Mari Periksa Darah Sebelum Menikah

Namun, penanganan ini harus dilakukan pada saat yang tepat. Dr Winda mengatakan, bila anak sudah menjalani penanganan operasi pada masa yang tepat, maka dia tidak akan ada masalah. Jadi selama dia masa kanak-kanak, dia akan bisa bertumbuh dan berkembang dengan baik pasca operasi.

Sebaliknya bila terlambat penanganannya, PJB bisa berdampak fatal.

Pada PJB yang tipenya asianotik atau disebabkan oleh lesi tunggal, anak bisa mengalami stunting yang bersifat permanen. Sementara itu, pada PJB yang tipe sianotik atau lebih kompleks atau ditandai dengan mukosa biru, fungsi jantung kanan bisa lama-lama menjadi rusak.

Apalagi bila PJB yang dialami anak adalah Tetralogy of Fallot atau TOF atau kombinasi empat PJB sekaligus, darah anak yang menjadi biru karena darah kaya oksigen dari ventrikel kiri tercampur dengan darah kurang oksigen dari ventrikel kanan membuat daya tahan tubuh berkurang.

Bila TOF terus-menerus dibiarkan, tubuh tidak akan bisa melawan kuman dan nanah pun timbul di otak anak. Anak dengan TOF juga bisa menjadi lumpuh dan stunting.

Itulah sebabnya deteksi dan penanganan PJB harus dilakukan sedini mungkin. Presiden Direktur Philips Indonesia Dick Bunschoten mengatakan bahwa pihaknya mendorong masyarakat untuk mulai megadopsi gaya hidup sehat serta membiasakan deteksi dini untuk mengantisipasi penyakit seperti PJB ini.

"Lewat inovasi teknologi seperti USG, deteksi PJB sejak dini dapat dilakukan. Selain itu, solusi Cath Lab Azurion kami juga membantu intervensi non-bedah yang lebih tidak menakutkan dan tidak meninggalkan luka pada anak," ujarnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau