Namun, penanganan ini harus dilakukan pada saat yang tepat. Dr Winda mengatakan, bila anak sudah menjalani penanganan operasi pada masa yang tepat, maka dia tidak akan ada masalah. Jadi selama dia masa kanak-kanak, dia akan bisa bertumbuh dan berkembang dengan baik pasca operasi.
Sebaliknya bila terlambat penanganannya, PJB bisa berdampak fatal.
Pada PJB yang tipenya asianotik atau disebabkan oleh lesi tunggal, anak bisa mengalami stunting yang bersifat permanen. Sementara itu, pada PJB yang tipe sianotik atau lebih kompleks atau ditandai dengan mukosa biru, fungsi jantung kanan bisa lama-lama menjadi rusak.
Apalagi bila PJB yang dialami anak adalah Tetralogy of Fallot atau TOF atau kombinasi empat PJB sekaligus, darah anak yang menjadi biru karena darah kaya oksigen dari ventrikel kiri tercampur dengan darah kurang oksigen dari ventrikel kanan membuat daya tahan tubuh berkurang.
Bila TOF terus-menerus dibiarkan, tubuh tidak akan bisa melawan kuman dan nanah pun timbul di otak anak. Anak dengan TOF juga bisa menjadi lumpuh dan stunting.
Itulah sebabnya deteksi dan penanganan PJB harus dilakukan sedini mungkin. Presiden Direktur Philips Indonesia Dick Bunschoten mengatakan bahwa pihaknya mendorong masyarakat untuk mulai megadopsi gaya hidup sehat serta membiasakan deteksi dini untuk mengantisipasi penyakit seperti PJB ini.
"Lewat inovasi teknologi seperti USG, deteksi PJB sejak dini dapat dilakukan. Selain itu, solusi Cath Lab Azurion kami juga membantu intervensi non-bedah yang lebih tidak menakutkan dan tidak meninggalkan luka pada anak," ujarnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.