Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 09/07/2019, 15:24 WIB
Retia Kartika Dewi,
Inggried Dwi Wedhaswary

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Fenomena hujan es di Indonesia terkadang dianggap tidak biasa terutama jika tak terjadi pada musim pancaroba.

Biasanya, hujan es terjadi saat memasuki peralihan musim.

Menurut Kepala Bidang Manajemen Observasi Meteorologi Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Hary Tirto Djatmiko, fenomena hujan es berbeda dengan fenomena salju yang ada di negara-negara kutub atau sub tropis.

Berikut 4 fakta menarik mengenai fenomena hujan es:

1. Perbedaan hujan es dan salju

Hujan es berbeda dengan salju. Hujan es bisa terjadi di belahan dunia mana pun, sementara salju hanya bisa terjadi di wilayah lintang tinggi, lebih dari 23,5 derajat.

Hary menjelaskan, hujan es bisa terjadi dalam dua kondisi, yakni pada masa pancaroba yang disertai angin kencang, dan hujan tetap ada dengan perbedaan suhu yang besar dalam satu hari.

Dua kondisi tersebut mengakibatkan hujan es karena mengakumulasi air dalam bentuk awan cumulonimbus, jenis awan yang pada awalnya berbentuk menyerupai bunga kol berwarna putih.

Baca juga: Hujan Es di Bandung, Kenapa Bisa Terjadi dan Apa Bedanya dengan Salju?

"Awan yang menyebabkan juga berbeda. Kalau hujan es disebabkan oleh awan cumulonimbus, salju disebabkan oleh awan nimbus stratus," ujar Hary kepada Kompas.com, pada April 2019.

Hary menjelaskan, awan jenis cumulonimbus lebih banyak mengandung air dalam bentuk padat daripada cair.

Oleh karena itu, hujan yang turun bisa dalam bentuk padat.

2. Durasi hujan es singkat

Hujan es memiliki durasi yang lebih singkat daripada salju karena hujan es dipengaruhi oleh intensitas hujan.

Hary mengungkapkan, akumulasi es itu takkan bertahan lama, paling lama sekitar 10 menit. Setelah itu, es yang jatuh akan segera mencair.

Sementara, salju bisa memiliki ketahanan beku lebih lama di permukaan tanah lantaran seuhu daratan juga sangat rendah.

Selain itu, faktor tekanan juga berpengaruh dalam hal ini.

3. Gejala sebelum hujan es

Fenomena hujan es merupakan fenomena yang alamiah. Ada beberapa indikasi terjadinya hujan es, yakni terasa hawa panas dan gerah dalam seharian.

Udara akan terasa panas dan gerah karena radiasi matahari yang cukup kuat.

Hal itu ditunjukkan oleh nilai perbedaan suhu udara antara pukul 10.00 dan 07.00 LT (lebih dari 4.5 derajat celcius), disertai kelembaban yang cukup tinggi.

Gejala sebelum hujan es, akan muncul awan cumulus (awan putih berlapis-lapis) sekitar pukul 10.00.

Di antara awan tersebut ada satu jenis awan yang mempunyai batas tepinya yang berwarna abu-abu dan menjulang tinggi seperti bunga kol.

Tahap berikutnya, awan tersebut akan cepat berubah warna menjadi abu-abu atau kehitaman atau dikenal sebagai awan cumulonimbus.

Baca juga: Hujan Es di Sydney Berbentuk Kembang Kol, Kok Bisa?

4. Proses terbentuk hujan es

Dilansir dari ABC, peneliti dari Monash University Dr Joshua Soderholm mengungkapkan semua hujan es bermula memiliki bentuk bulatan dengan diameter sekitar 1 sentimeter.

"Ketika mulai membesar, Anda mulai mendapatkan es membeku di setiap arah. Itu fase pertumbuhan basah," ujar Dr Soderholm.

Ketika hujan es terbentuk selama pertumbuhan basah, "lobus" akan dipisahkan oleh es berpori dengan sedikit ruang yang diisi dengan air.

Saat air membeku, terbentuk saluran radial atau jari-jari es yang mirip es yang sangat jernih.

"Ketika hujan es terbentuk selama pertumbuhan kering, air mulai mengisi celah dan saat itulah Anda mulai mendapatkan jenis batu es bulat, sangat putih," ujar Dr Soderholm.

Baca juga: Viral Hujan Es di Jakarta, Ini Penjelasan BMKG...

Dengan demikian, hujan es dengan batu es berbentuk kembang kol terbentuk. Secara ilmiah, bentuk ini disebut sebagai bentuk struktur lobus cusped.

Hujan es terbentuk melalui kondensasi uap air lewat pendinginan di atmosfer pada lapisan di atas titik beku (freezing level) 0 derajat celcius.

Saat batu-batu es terbentuk mulai dari bagian tengah awan sampai pada lapisan atas awan (top cloud) itu tidak semuanya mencair ketika turun ke lapisan yang lebih rendah, meskipun suhu relatif hangat.

Terkadang, hujan es bisa disertai dengan angin kencang, bahkan puting beliung yang berasal dari jenis awan Cumulonimbus bersel tunggal ataupun berkelompok yang tumbuh secara vertikal di daerah yang tropis.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Terpopuler

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau