KOMPAS.com - Tidak makan nasi sama saja dengan belum makan. Itulah anggapan yang selama ini beredar di masyarakat. Kelebihan berat badan juga diidentikkan sebagai akibat dari pola makan yang berlebihan, sehingga mengurangi atau menghindari nasi dianggap cara yang paling manjur untuk mengontrol berat badan. Namun, benarkah demikian?
Kebiasaan makan nasi di Indonesia sebagai makanan pokok berawal dari kolonisasi suku Austronesian yang bergerak ke arah selatan setelah berhasil menduduki pesisir timur daratan China.
Sebuah penelitian statistik oleh Silva dan kolega pada tahun 2015 yang mengacu pada data arkeologi padi selama 400 tahun terakhir menyebutkan bahwa padi pertama kali di tanam di sekitar region Yangtze tengah dan selatan pada tahun 5000 SM, sebelum kemudian di tanam di pesisir Asia Tenggara 3.500 tahun kemudian.
Sampai hari ini pun, nasi telah menjadi makanan pokok sebagian besar masyarakat Indonesia untuk memenuhi kebutuhan karbohidrat.
Baca juga: Jangan Salah, Rutin Makan Nasi Putih Tingkatkan Risiko Diabetes
Namun nyatanya, karbohidrat tidak hanya ditemukan dalam nasi. Karbohidrat sebagai salah satu sumber energi bagi manusia juga dapat ditemukan pada bahan makanan lainnya, seperti roti, biji-bijian, kentang, bahkan buah dan sayuran.
Selain itu, tubuh manusia juga dapat mengubah energi dari dua bahan bakar lainnya yaitu protein dan lemak menjadi komponen karbohidrat ketika tubuh tidak memiliki cadangan karbohidrat yang cukup. Proses ini disebut glikonegenesis.
Oleh karena itulah; karbohidrat, protein dan lemak secara kolektif sering juga disebut sebagai makronutrien.
Sekarang, bayangkan struktur kimia karbohidrat seperti rantaian gelang mutiara. Semakin panjang rantainya, semakin banyak energi yang kita habiskan untuk mengumpulkan kembali biji mutiara apabila gelang ini terputus.
Baca juga: Nasi, Kentang, Jagung: Mana yang Lebih Baik Bagi Penderita Diabetes?
Albert L Lehninger, seorang ahli biokimia dalam bukunya Principles of Biochemistry menjelaskan bahwa karbohidrat terbentuk dari rantaian komponen pembentuknya yang disebut sakarida.
Semakin kompleks dan panjang rantaian karbohidrat ini, semakin banyak pula energi dan waktu yang di perlukan untuk memecahnya menjadi monosakarida – gugus gula yang siap diserap tubuh manusia untuk dirubah menjadi energi.
Proses perubahan gula menjadi energi oleh tubuh lagi-lagi diawali dengan memecahkan monosakarida melalui proses glikolisis, di mana senyawa piruvat akan terbentuk dan diubah menjadi senyawa bernama asetil-KoA melalui serangkaian reaksi enzimatik.
Asetil-KoA inilah yang kemudian digunakan untuk memulai siklus asam sitrat atau dikenal juga sebagai Krebs’ cycle.
Dijelaskan oleh Antonio Blanco, Profesor Emeritus dari Universitas Nasional Cordoba - Argentina dalam buku Medical Biochemistry, dibutuhkan dua kali siklus asam sitrat untuk memecah satu unit glukosa.
Baca juga: Sindrom Nasi Goreng, Infeksi Bakteri yang Paling Sering Serang Manusia
Ini berarti untuk satu unit glukosa yang telah bereaksi secara sempurna, akan dihasilkan 30 hingga 38 unit Adenosin trifosfat (ATP), satuan molekul energi dalam tubuh kita.
ATP terlibat dalam berbagai macam reaksi kimia sel agar tubuh dapat melakukan fungsinya, seperti mengontraksikan otot agar kita dapat bergerak dan jantung dapat tetap berdenyut untuk memompa darah ke seluruh tubuh.
Layaknya mesin, ketika tubuh memerlukan banyak energi untuk berfungsi, kebutuhan akan bahan bakar akan meningkat. Gula akan diserap oleh tubuh ke dalam darah, untuk kemudian didistribusikan ke sel-sel tubuh yang membutuhkan.
Contohnya pada saat kita berolahraga, otot kita bekerja lebih keras daripada biasanya sehingga reaksi glukolisis akan terjadi dengan sangat cepat. Apabila kandungan gula dalam tubuh menipis, cadangan energi yang disimpan dalam bentuk lemak akan segera direaksikan untuk memenuhi kebutuhan energi.
Sebaliknya ketika kita sedang melakukan kegiatan yang kurang aktif seperti menonton TV, duduk di meja kerja selama satu hari penuh, tubuh kita tidak terlalu membutuhkan banyak energi. Reaksi glukolisis yang telah merubah makanan kita menjadi energi dalam kondisi ini tidak lagi di perlukan, dan energi yang berlebih akan disimpan sebagai cadangan dalam bentuk lemak.
Baca juga: Berpikir Keras Dapat Membakar Kalori, Bisakah Bikin Langsing?
Bertentangan dengan mitos yang beredar di masyarakat, lemak bukanlah yang berperan paling besar dalam menentukan berat badan seseorang.
Lemak memiliki massa jenis yang paling rendah dengan berat 0,9 g per mililiternya dibandingkan dengan komponen pembentuk tubuh lainnya seperti air (1g/mL), tulang (1,9g/mL) dan otot (1,06g/mL) sebagaimana dikutip dalam beberapa jurnal ilmiah.
Dengan kata lain, dengan jumlah yang sama, otot membutuhkan tempat lebih sedikit daripada lemak. Setiap kilogram lemak yang disimpan akan “melebarkan” volume tubuh anda sebesar 1,1 liter, sedangkan satu kilogram otot hanya akan membutuhkan ruang sebesar 0.95 liter.
Perhitungan secara kasar ini tentu saja tidak mempertimbangkan tinggi badan dan distribusi lemak dan otot yang acak pada setiap individu, namun ini berkaitan dengan definisi “langsing” yang lebih identik pada bentuk badan dibandingkan angka pada alat penimbang berat badan.
Dua orang dengan berat badan yang sama bisa jadi memiliki bentuk tubuh yang berbeda karena proporsi distribusi lemak dan otot pada setiap orang tidak sama.
Jika langsing adalah bentuk tubuh idaman Anda, kombinasi antara mengatur pola makan yang baik dan olahraga yang membakar lemak, serta merangsang pertumbuhan otot adalah gaya hidup yang tepat untuk dilakukan secara rutin.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.