KOMPAS.com - Pernikahan sedarah di Bulukumba, Sulawesi Selatan menyita perhatian publik. Dalam kacamata budaya Indonesia, pernikahan antara saudara kandung semacam ini dianggap tabu dan menyimpang.
Bukan hanya itu, pernikahan antar-saudara kandung juga berpotensi menimbulkan banyak masalah genetik.
Masalah genetik ini memang tidak serta merta dirasakan oleh orang yang menikah. Tapi, "korban" genetik dari pernikahan sedarah ini adalah anak yang dilahirkan dari hubungan tersebut.
Sebagai informasi, ketika dua organisme yang memiliki hubungan darah melakukan perkawinan, tingkat homozigositas yang terjadi lebih tinggi.
Baca juga: Kemungkinan Obesitas Bisa Diprediksi Sejak Bayi dengan “Skor Genetik”
Maksudnya, keturunan yang dihasilkan memiliki peluang lebih besar untuk menerima alel (gen pada kromosom) identik dari ayah dan ibu mereka.
Hal ini membuat terjadinya pengurangan keragaman genetik. Padahal, keragaman genetik ini membantu organisme (dalam kasus ini manusia) untuk bertahan dari perubahan lingkungan dan beradaptasi.
Akibatnya, orang mungkin menderita penurunan kebugaran biologis. Misalnya saja, anak mengembangkan gangguan resesif autoimun.
Risiko penurunan kesehatan ini makin besar ketika dua gen yang membawa potensi bahaya bertemu.
Kita semua merupakan pembawa gen-gen yang berpotensi berbahaya. Meski begitu, alel resesif jarang terjadi karena mitra produksi acak belum tentu memiliki alel yang sama.
Namun lain halnya ketika terjadi perkawinan sedarah. Pertemuan alel yang sama meningkat, sehingga potensi akibatnya pun lebih besar.
Sebuah studi tentang anak-anak hasil perkawinan sedarah di Cekoslowakia menemukan 42 persen menderita cacat lahir yang parah atau menderita kematian dini. Tak hanya itu, 11 persen lainnya mengalami gangguan mental.
Sekelompok konselor genetik juga membeberkan konsekuensi biologis dari hubungan pernikahan sedarah.
Dari penelitian yang dilakukan, mereka menemukan efek inses sebanyak 40 persen anak-anak dilairkan dengan kelainan resesif autosom, kelainan fisik bawaan, bahkan defisik intelektual yang parah. 14 persen lainnya mengalami cacat mental ringan.
Sedangkan anak yang baru lahir menderita kematian dini, cacat lahir, atau gangguan mental parah mendekati angka 50 persen.
Baca juga: Pernikahan Sedarah di Bulukumba, Kenapa Kita Merasa Tabu?
Beberapa contoh cacat yang terlihat dalam kasus inses di antaranya: