KOMPAS.com - Indonesia punya banyak nama ilmuwan yang berprestasi, salah satunya adalah Herawati Supolo Sudoyo. Herawati adalah seorang profesor biologi molekuler yang kerap jadi pembicara di berbagai forum ilmiah tingkat dunia.
Dengan segala prestasinya, Herawati tahun ini mendapat penghargaan Cendekiawan Berdedikasi 2019 dari Kompas. Kompas sendiri telah mengikuti sepak terjang perempuan kelahiran Pare, Jawa Timur itu selama 4 tahun terakhir, terutama kiprahnya di Lembaga Eijkman.
Sebelum terjun ke Lembaga Eijkman, Herawati punya catatan perjalanan akademis yang panjang. Dia merupakan lulusan dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia yang memutuskan untuk mengajar di almamaternya.
Tuntutan pekerjaan membuat Herawati melanjutkan studi doktoral di Universitas Monash Australia pada 1985 di bidang bilogi molekuler. Bidang tersebut dianggap menjadi pondadi berbagai kajian terapan di bidang kedokteran hingga bioteknologi.
Baca juga: 4 Kartini Intelek Mendunia, Salah Satunya Ungkap Pelaku Bom Bunuh Diri
Selama studi doktoralnya, Herawati terpilih untuk terlibat dalam proyek penelitian baru tentang mitokondria manusia yang sedang dibangun oleh Universitas Monash.
Proyek tersbeut dipimpin oleh Profesor Sangkot Marzuki, seorang ilmuwan Indonesia yang selama 20 tahun mengajar di Universitas Monash.
Ketika Sangkot Marzuki dipanggil pulang ke Indonesia untuk menghidupkan Lembaga Eijkman oleh BJ Habibie pada 1992, Herawati diajak bergabung.
Di lembaga Eijkman inilah Herawati berkiprah dengan membentuk kelompok ilmiah dan laboratorium. Kelompok buatannya ini kemudian menjadi Pusat Genom Indonesia pada 2018.
Pusat penelitian ini dibentuk Herawati yang tertarik untuk memahami hubungan antara keanekaragaman genetika manusia dan penyakit.
Herawati berasumsi, setiap etnis memiliki kerentanan dan daya tahan terhadap penyakit tertentu. Untuk itu, dia berupaya memetakan struktur genetika populasi.
Dengan peta genetika ini, diharapkan setiap etnis mendapatkan pengobatan yang presisi.
Sayangnya, saat itu data genetika manusia di Indonesia masih kosong. Ini membuat Herawati dan koleganya di Lembaga Eijkman melakukan perjalanan panjang ke pelosok Indonesia demi mengumpulkan data genetis.
Dengan dukungan pemerintah, proyek yang dilakukan Herawati ini semula terasa mudah dan leluasa. Tapi ketika krisis ekonomi 1998 melanda, dukungan terhadap penelitian mulai terbatas dan peralatan yang digunakan mulai ketinggalan zaman.
Tahun-tehun setelahnya, Lembaga Eijkman bergantung pada kerja sama dengan lembaga riset dari luar negeri. Akibatnya, Eijkman lebih banyak dikenal di luar negeri.
Baca juga: Deteksi dalam Sedetik, Sensor Hidrogen Ilmuwan Indonesia Tercepat di Dunia
Baru pada 2004 nama Lembaga Eijkman mulai dikenal di negeri sendiri ketika berhasil mengungkap identitas pelaku bom bunuh diri di depan Kedutaan Besar Australia di Jakarta dalam waktu 13 hari.