ADA beberapa bukti dampak perubahan iklim terjadi di Indonesia, salah satunya peningkatan suhu dan menyebabkan tren cuaca ekstrem.
Akibatnya, produksi beras di sebagian wilayah selatan khatulistiwa, seperti Sumatera Selatan, Lampung, Jawa, Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Sulawesi Selatan menurun sebanyak 1,8 juta hingga 3,6 juta ton (Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, 2017).
Pada sisi lain, kenaikan suhu secara global telah menyebabkan kenaikan muka air laut akibat mencairnya es di kutub.
Terbukti, menurut Simple Ocean Data Assimilation (SODA) telah terjadi peningkatan muka air laut secara signifikan di Indonesia sejak tahun 1993, dari sebelumnya hanya 1,6 mm menjadi rata-rata 7 mm per tahun.
Banyak kajian yang menyebut perubahan iklim disebabkan oleh produktivitas karbon yang berlebih akibat penggunaan energi fosil. Alih-alih memanfaatkan potensi melimpah energi baru terbarukan yang bersumber dari panas bumi, air, bioenergi, angin, surya dan laut, kebijakan pemerintah Indonesia justru masih akan mengandalkan penggunaan batu bara dalam kurun waktu 10 tahun ke depan.
Padahal, tidak hanya memproduksi emisi karbon, pemanfaatan batu bara juga merusak lingkungan dan rentan mendeforestasi hutan.
Oleh karenanya, butuh alternatif cara untuk dapat meminimalkan dampak dari produksi karbon yang dihasilkan, salah satunya dengan cara melestarikan lahan gambut. Karena, selain tempat perlindungan keanekaragaman hayati, keberadaan lahan gambut mampu menyerap dan menyimpan emisi karbon.
Sebaliknya, kerusakan lahan gambut justru semakin mempercepat proses perubahan iklim. Analisis World Resources Institute (WRI) menunjukkan bahwa pengeringan satu hektar lahan gambut di wilayah tropis akan mengeluarkan karbon setara dengan membakar lebih dari 6.000 galon bensin setiap tahun.
Dengan perannya, keberadaan lahan gambut yang hanya ada di beberapa negara di dunia wajib dilestarikan.
Pengelolaan yang keliru kerap membuat luas ekosistem lahan gambut semakin berkurang dan tidak jarang menyebabkan kebakaran hebat.
Berdasarkan catatan pantau gambut, kebakaran hutan hebat terjadi pada 1997 dan melepaskan emisi setara dengan produksi karbon dioksida yang dihasilkan oleh 2.488 pembangkit listrik tenaga batu bara selama setahun.
Setelahnya, kebakaran hutan--termasuk di dalamnya lahan gambut--terjadi hampir setiap tahun. Puncaknya terjadi tahun 2015, di mana dari 122.882,90 hektar hutan yang terbakar di wilayah Sumatera dan Kalimantan, setengahnya adalah lahan gambut.
Bank Dunia memperkirakan kerugian yang diakibatkan setara dua kali anggaran penanganan bencana Aceh, sekitar Rp 220 triliun.
Ironisnya, kebakaran hutan dan lahan gambut paling sering terjadi akibat dari pembakaran oleh oknum perusahaan pemegang konsesi maupun oknum warga sekitar dalam proses pembukaan lahan karena metode membakar dianggap paling mudah dan murah.
Untuk mengembalikan fungsi lahan gambut akibat kebakaran, pemerintah melalui Peraturan Presiden Nomor 1 Tahun 2016 membentuk Badan Restorasi Gambut (BRG), dengan target merestorasi 2 juta hektar selama 5 tahun melalui pendekatan 3R (Rewetting atau pembasahan kembali gambut, Revegetation atau revegetasi, dan Revitalization of local livelihoods atau revitalisasi sumber mata pencaharian masyarakat).