KOMPAS.com – Kanker merupakan penyakit menakutkan yang sering kali muncul tiba- tiba, dengan potensi kematian yang tinggi. Hal ini mendorong para ilmuwan untuk terus mempelajari mekanisme kemunculan kanker, termasuk belajar dari hewan seperti paus.
Selama ini, diketahui bahwa usia dan berat badan merupakan faktor risiko dalam perkembangan sel kanker. Artinya, semakin tua dan besar ukuran tubuh suatu organisme, maka semakin berisiko untuk terkena kanker.
Namun, tidak demikian halnya pada paus. Paus justru memiliki risiko kanker yang relatif kecil, begitu pula pada gajah dan burung. Inilah yang mendorong para ilmuwan mempelajari mekanisme di balik rahasia tersebut.
Tim gabungan peneliti dari Nothern Arizona University, Arizona State University, University of Groningen, dan beberapa institusi lain mempelajari potensi mekanisme penekan kanker pada cetacean, kelompok mamalia yang mencakup paus dan lumba-lumba.
Baca juga: Pusat Kanker Terbesar di Bali Dibangun, Beroperasi Mulai 2020
Studi yang dipublikasikan di jurnal Molecular Biology and Evolution menemukan, alam telah mengalahkan kanker beberapa kali pada kelompok organisme yang berbeda.
Informasi tersebut kemudian digunakan ilmuwan untuk membantu menemukan pencegahan kanker pada manusia, seperti mengembangkan protein paus yang dapat menghentikan proliferasi sel untuk menciptakan obat anti tumor.
"Tujuan kami bukan hanya untuk mencari tahu bagaimana alam melawan kanker, namun juga untuk memberikan perspektif baru bagi publik mengenai kanker," ujar Marc Tollis, peneliti yang mengepalai studi ini, dilansir dari Phys.org, Kamis (9/5/2019).
"Fakta bahwa paus dan gajah berevolusi untuk mengalahkan kanker, dan bahwa dinosaurus juga mengalaminya, memberi sugesti bahwa kanker telah lama menjadi tekanan selektif sepanjang jutaan tahun evolusi berlangsung. Harapan kami adalah hal ini dapat mengubah hubungan seseorang dengan kanker, yang dapat menjadi sangat menyakitkan dan personal," imbuhnya.
Studi ini dilakukan dengan mengoleksi sampel DNA genomik milik seekor paus punggung bungkuk. Sampel DNA lalu disekuensing untuk memperoleh sekuens genomnya, serta dilakukan pula sekuensing RNA untuk dapat menentukan lokasi gen spesifik secara presisi.
Genom (urutan keseluruhan DNA) paus tersebut kemudian dibandingkan dengan beberapa jenis paus lain, seperti paus biru, paus sperma, paus kepala busur, dan lain-lain.
Hasilnya, terungkap bahwa beberapa bagian genom paus berevolusi lebih cepat dibandingkan mamalia lain. Bagian ini mengandung gen yang mengontrol siklus sel, perbanyakan sel, dan perbaikan sel, yang sangat penting bagi fungsi sel normal. Pada sel manusia, gen ini banyak mengalami mutasi.
"Hal ini mengindikasikan bahwa paus bersifat unik, di mana gen housekeeping milik mereka berevolusi lebih cepat karena harus mengejar pertumbuhan ukuran tubuh untuk memelihara kelestariannya. Kami juga menemukan bahwa, meski gen terkait kanker ini berevolusi dengan cepat, tapi secara keseluruhan paus memiliki tingkat mutasi yang rendah," jelas Tollis.
Tingkat mutasi yang rendah ini juga membatasi paus terhadap mutasi somatik yang dapat menyebabkan kanker.
Pada dasarnya, kanker terjadi saat sel somatik (sel tubuh) membelah dan bermutasi. Mutasi sel umum terjadi saat sel membelah, namun biasanya tidak berbahaya atau dapat diperbaki seketika. Namun, saat mekanisme tersebut tidak berjalan, maka dapat berujung pada kanker.
Baca juga: Imunoterapi Manfaatkan Sel Imun untuk Melawan Kanker
Sebelumnya, telah dilakukan studi serupa pada gajah, yang juga berukuran besar dan berumur panjang, meski tidak memiliki banyak kesamaan genetik dengan paus. Hasilnya, ditemukan pula mekanisme penekan kanker, meski gennya berbeda dengan gen pada paus.
Hal ini menunjukkan bahwa terdapat beberapa mekanisme genetik penekan kanker yang berbeda, yang dapat dimanfaatkan untuk perawatan kanker pada manusia.
Penelitian selanjutnya ditujukan untuk dapat memahami fenotip gen penekan kanker menggunakan eksperimen dengan kultur sel paus, untuk memvalidasi temuan sebelumnya. Hal ini menjadi langkah awal pengembangan obat penekan kanker.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.