Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 14/05/2019, 19:08 WIB
Julio Subagio,
Shierine Wangsa Wibawa

Tim Redaksi

KOMPAS.com – Kehidupan urban menawarkan janji-janji kemudahan yang menunjang berbagai gaya hidup pilihan seseorang. Tidak heran bila kawasan perkotaan kemudian menjadi magnet yang menarik gelombang urbanisasi dari sekitarnya.

Namun, di balik kemewahan yang disediakan kawasan perkotaan, terdapat sisi lain yang ternyata membahayakan kesehatan, terutama kondisi kestabilan mental.

Menurut studi, penghuni kota besar memiliki risiko sekitar 40 persen lebih besar untuk mengalami depresi, 20 persen untuk potensi anxiety attack (gangguan kecemasan), dan dua kali lipat potensi schizofrenia dibanding penduduk kawasan pedesaan.

Beberapa faktor pendorong kondisi ini merupakan permasalahan sosial, seperti kesepian dan tekanan hidup yang tinggi di tengah kepadatan penduduk.  Namun, terdapat pula faktor fisik kawasan perkotaan yang tampaknya memicu gangguan emosi para penghuninya.

Andreas Meyer-Lindenberg, direktur Central Institute of Mental Health di Mannheim, Jerman, bersama koleganya, Matilda van den Bosch, peneliti kesehatan lingkungan dari University of British Columbia, Vancouver, Kanada, baru-baru ini tengah meninjau bukti saintifik mengenai stressor (pemicu stres) fisik serta dampaknya terhadap depresi.

Baca juga: Apa Beda Stres dan Depresi? Ini Kata Ahli

Temuan yang dipublikasikan di jurnal Annual Review of Public Health ini menunjukkan beberapa faktor fisik yang berpotensi mengganggu kondisi kejiwaan, khususnya di perkotaan.

Di antaranya adalah polusi udara, pollen (serbuk sari) sebagai pemicu alergi, kebisingan, medan elektromagnet buatan manusia, senyawa kimia seperti bisphenol A dan phtalate, serta pestisida dan berbagai logam berat, misalnya kadmium, timbal, dan merkuri.

Sebagai ilustrasi, polusi udara yang mengandung beberapa molekul berbahaya seperti karbon monolsida, nitrogen oksida, sulfur dioksida, dan benzena dapat dengan mudah dijumpai di perkotaan. Zat-zat ini bisa berasal dari asap kendaraan bermotor, industri, emisi rumah tangga, maupun reaksi sekunder di udara.

Keberadaan polutan ini dapat menimbulkan berbagai gangguan saraf pada orang dewasa, seperti gangguan fungsi hormon dan neurotransmitter, induksi stress oksidatif di otak, dan inflamasi di hippocampus, sehingga menurunkan performa kognitif, memori, dan kerja saraf terkait perilaku.

Hal ini juga berpengaruh terhadap penyakit psikosomatis, seperti depresi, paranoia, bahkan kecenderungan untuk bunuh diri.

Pada anak dan remaja, paparan polutan tingkat tinggi dapat menganggu perkembangan sistem saraf pusat dan pembentukan antibodi dan protein lain yang berperan dalam kerja otak. Hal ini juga dapat memicu gejala awal mirip penyakit Alzheimer dan Parkinson.

Contoh lain, kebisingan yang ditimbulkan dari hiruk-pikuk lalu lintas atau pekerjaan konstruksi juga dapat mengganggu kestabilan mental. Kebisingan dapat menyebabkan gangguan emosional dan mengurangi kualitas tidur, sehingga mendorong respons stres psikofisiologis dan dapat berujung pada depresi.

Meski demikian, jalur biologis yang menjelaskan mekanisme pengaruh kebisingan terhadap gangguan psikologi masih belum diketahui secara jelas.

Perkotaan merupakan kasus yang unik. Rata-rata, penghuni perkotaan memiliki akses terhadap layanan kesehatan dan edukasi yang lebih baik dari kebanyakan orang. Artinya, dalam kebanyakan aspek kehidupan kota tampak baik, namun dalam hal kesehatan mental justru berlaku kebalikannya,” ujar Meyer-Lindenberg.

Namun bukan berarti seseorang yang menghuni kawasan pemukiman di tengah kota akan otomatis mengalami depresi atau gangguan kecemasan.

“Gangguan kesehatan mental disebabkan oleh berbagai faktor kompleks melibatkan genetika dan berbagai kejadian dalam hidup. Mustahil hanya menyebut salah satunya sebagai penyebab utama,” imbuhnya seperti dilansir dari Popular Science, Senin (13/5/2019).

Faktor lain seperti kondisi sosioekonomi juga berperan. Misalnya, pada komunitas kelas menengah ke bawah, stres akibat kondisi finansial dapat berkontribusi terhadap munculnya gejala depresi. Selain itu, mereka juga memiliki paparan tinggi terhadap polusi udara, kebisingan kota, dan logam berat.

Baca juga: Kalau Ibu Kota Pindah ke Kalimantan, Mungkinkah Hutannya Menghijau?

Penawar potensial

Di sisi lain, lingkungan fisik yang berbeda juga dapat membantu merawat kesehatan mental. Terdapat banyak studi yang menunjukkan bahwa risiko depresi dan gangguan psikologis lainnya dapat diturunkan melalui kontak dengan alam.

Individu yang lebih aktif secara fisik, serta memiliki kontak dengan pemandangan, suara, serta aroma alamiah, seperti hutan atau lautan, memiliki jiwa yang lebih tenang, serta semangat dan mood yang baik.

Dalam salah satu studi, ditemukan bahwa setelah berjalan di tengah alam terbuka, individu akan jarang melakukan ruminasi (kecenderungan untuk terobsesi pada permasalahan yang dihadapi) yang merupakan gejala depresi.

Meyer-Lindenberg juga menjelaskan bahwa berjalan di alam diasosiasikan dengan aktivitas area otak yang disebut perigenual anterior cingulate cortex, yang berperan dalam regulasi emosional.

“Banyak faktor risiko yang kita cari cenderung berada dalam sistem otak yang sama,” ujarnya.

Lewat studi ini, Meyer-Lindenberg bersama koleganya berharap dapat memahami respons otak terhadap berbagai lingkungan fisik, serta mekanismenya terhadap kondisi kesehatan mental.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Terpopuler

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau