Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Bencana Kemanusian Pemilu 2019, Pembelajaran untuk Mitigasi Kesehatan

Kompas.com - 10/05/2019, 13:00 WIB
Gloria Setyvani Putri

Penulis

KOMPAS.com - Pemilu 2019 dilaksanakan 17 April lalu, namun hingga kini penghitungan suara belum selesai dilakukan dan jumlah korban yang sakit hingga meninggal terus bertambah. Hingga 6 Mei 2019, jumlah korban meninggal 554 orang dan 3.788 orang sakit.

Berdasar data tersebut, tak heran bila Medical Emergency Rescue Comittee (MER-C) menetapkan jatuhnya korban pada Pemilu 2019 sebagai Bencana Kemanusian.

Untuk mencegah jatuhnya korban lebih banyak, MER-C membentuk tim mitigasi kesehatan bencana Pemilu 2019 yang terdiri dari dokter spesialis dari berbagai keahlian, perawat, dan psikolog.

Melalui siaran pers yang diterima Kompas.com Jumat (10/5/2019), segenap tim MER-C akan mencegah jatuhnya lebih banyak korban dengan melakukan pendampingan korban yang memerlukan penanganan atau perawatan intensif. Selain itu, MER-C juga menegaskan akan mencari penyebab bencana kemanusiaan.

Baca juga: 119 Petugas KPPS Meninggal, Ini yang Terjadi pada Tubuh saat Kelelahan

Persoalan pentingnya mitigasi bencana sebenarnya juga sudah disinggung Kompas.com dalam artikel berjudul 119 Petugas KPPS Meninggal, Ini yang Terjadi pada Tubuh saat Kelelahan.

Dekan FKUI Prof dr Ari Fahrial Syam SpPD-KGEH MMB FINASIM FACP menganggap kejadian bencana kemanusiaan pada pemilu 2019 adalah bukti bahwa kita tidak belajar dari pemilu sebelumnya.

"Kejadian ini adalah yang terburuk dalam sejarah pemilu Republik Indonesia karena ratusan orang meninggal dan ribuan orang sakit," kata Ari kepada Kompas.com, Rabu (24/4/2019) melalui sambungan telepon.

Ari menjelaskan, kemungkinan terbesar banyak orang meninggal pada Pemilu 2019 adalah kelelahan. Padahal, manusia memiliki batasan dalam bekerja dan memerlukan istirahat.

24 jam dalam sehari yang kita miliki harus dibagi menjadi tiga bagian agar kesehatan terjaga, yakni delapan jam untuk kerja keras, 8 jam untuk kerja ringan, dan 8 jam untuk istirahat atau tidur.

"Ini bukan konsep omong kosong, tapi sudah diuji secara genetik," tegas Ari.

Ketika pakem itu tidak dijalankan, misalnya terus bekerja selama lebih dari 12 jam maka siklus biologi terganggu dan ada dampak kesehatan yang menghadang, terlebih bila memiliki riwayat penyakit kronis.

Ari mencontohkan, orang-orang yang memiliki diabetes bila kelelahan gula darahnya menjadi tidak terkontrol, orang dengan hipertensi bisa kena stroke, dan orang yang sudah memiliki sumbatan pada pembuluh jantung bisa mengalami serangan jantung dan meninggal.

"Kemudian pada orang-orang yang tidak memiliki penyakit kronis, kelelahan, kurang tidur, dan makan asal-asalan bisa menyebabkan daya tahan tubuh menurun," jelas Ari.

Ketika daya tahan menurun, virus penyakit dengan mudah dapat menyerang tubuh dan mengakibatkan demam berdarah, tifus, diare, dan lain sebagainya.

Faktor psikis dan lingkungan juga berpengaruh

Manurut Ari, masalah kesehatan yang dialami para anggota KPPS bukan hanya karena faktor fisik saja, tapi juga psikis.

Para petugas KPPS harus menghadapi protes dari warga yang kesulitan mendapat hak pilih, kemudian harus bekerja ekstra hati-hati karena pekerjaan mereka diawasi oleh para saksi.

Hal semacam ini menurut Ari akan sangat menguras energi para petugas dan menyebabkan stres yang bisa memperburuk kondisi kesehatan.

Dalam tulisannya yang menyoroti Pemilu 2009, Ari mengatakan bahwa kondisi lingkungan kerja yang tidak sehat seperti kebisingan, suhu ruangan panas, dan asap rokok di dalam ruangan dapat memperburuk kelelahan.

Baca juga: Ratusan Anggota KPPS Meninggal, Tak Tidur Bikin Tubuh Bak Orang Mabuk

Solusi masalah

Selain mitigasi bencana seperti yang ditawarkan MER-C, Ari saat diwawancara berharap para petugas pemilu diberi waktu cukup untuk istirahat di masa depan.

Mewakili ahli medis di Indonesia, Ari meminta KPU mau belajar dari pengalaman agar peristiwa seperti ini tidak terjadi lagi di masa depan.

Mengingat pemilu pada 2009 yang jarak pileg dan pilpres terpisah beberapa hari saja menimbulkan banyak korban, Ari beranggapan pemilu pilpres dan legislatif tidak ideal bila diadakan serentak dalam satu hari yang sama.

Menurut Ari, KPU mungkin juga bisa mencontoh beberapa negara yang sudah menerapkan pemilu dengan sistem elektronik.

"Namun kalau itu (sistem elektronik) tidak bisa, artinya kita harus memperbanyak petugas dan menerapkan kerja sistem shift," tegasnya.

"Bikin dua atau tiga shift lah, dua shift minimal. Sehingga setelah selesai shift petugas bisa beristirahat untuk besok bekerja lagi".

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Terpopuler

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau