KOMPAS.com - Napakiak, adalah desa kecil di sebelah barat daya Alaska yang hanya bisa dijangkau dengan helikopter atau perahu, merupakan satu dari puluhan desa adat yang menjadi garda depan atas pemanasan global.
Desa dengan jumlah penduduk 350 orang itu tidak hanya menyaksikan garis pantai yang terkikis lebih cepat, mereka juga harus pindah ke dataran lebih tinggi agar tidak mengalami longsor.
"Di sini kami berurusan dengan dampak perubahan iklim setiap hari," ujar anggota dewan kota Walter Nelson dilansir kantor berita AFP, Kamis (2/5/2019).
"Kami terus-menerus melawan waktu. Saat ini toko kelontong, stasiun pemadam kebakaran dan bangunan perkotaan ada di daftar teratas untuk direlokasi," ujar Nelson.
Baca juga: Fosil Korban Perubahan Iklim dari Zaman Es Terpendam di Bawah Kota LA
"Sekolah mungkin akan segera menyusul, tapi kami tidak bisa memindahkannya ke tempat baru. Mungkin kami akan merobohkannya (sekolah) dan membangun yang baru".
Selain Napakiak, hal yang sama juga dirasah seluruh area pesisir Alaska. Banyak jalan darat yang tidak dapat diakses, kecuali ketika di musim dingin sungai membeku.
Menurut laporan Kantor Akuntabilitas Pemerintah pada 2009, lebih dari 200 desa di Alaska terkena dampak erosi dan banjir. Hal ini membuat warga setempat pindah tempat atau membuka lahan baru di pedalaman.
Ancaman eksistensial
Menurut para ilmuwan, Alaska sudah dua kali terdampak pemanan global, dengan suhu paling panas sepanjang sejarah terjadi pada Februari hingga Maret ini.
"Dari 1901 sampai 2016, suhu rata-rata di daratan AS meningkat 1 derajat Celcius, sedangkan di Alaska meningkat hampir 3 derajat Celcius," ujar Rick Thoman, pakar iklim di Pusat Penilaian dan Kebijakan Iklim Alaska.
"Fenomena ini secara signifikan memengaruhi masyarakat di Alaska. Banyak di antaranya menghadapi ancaman eksistensial jangka panjang," imbuh dia.
Baca juga: Studi Harvard, Meredupkan Matahari Efektif Tangkal Pemanasan Global
Nelson berpendapat, jika pemanasan global terus terjadi maka desa Napakiak sangat mungkin akan tenggelam dan penduduknya terpaksa mengungsi.
"Kami pikir 2016 sampai 2018 adalah tahun terpanas, tapi rupanya 2019 adalah pemecah rekor sepanjang sejarah. Setiap tahun di sini terus bertambah panas. Tak ada yang tahu bagaimana 10 tahun ke depan," tutup Nelson.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.