Oleh Susan Bailey
KEHIDUPAN sehari-hari di Stasiun Luar Angkasa Internasional berlangsung cepat. Sangat cepat.
Meluncur dengan kecepatan sekitar 27.000 kilometer per jam, 480 kilometer di atas Bumi, setiap “harinya” para astronot menyaksikan matahari terbit dan terbenam 16 kali sambil melayang-layang di dalam sebuah kotak dengan segelintir orang yang mereka andalkan untuk bertahan hidup.
Anda tidak perlu repot-repot lagi membayangkan seperti apa rasanya hidup di luar angkasa, karena ada film Hollywood seperti “The Martian,” “Gravity "dan” Interstellar“ dengan visi futuristik tentang kehidupan di luar Bumi saat kita menjelajah lebih jauh dan lebih dalam ke luar angkasa.
Tapi bagaimana dengan respons tubuh manusia terhadap penerbangan luar angkasa? Akankah penjelajah luar angkasa menua pada tingkat yang berbeda dari kita yang berada di Bumi? Seberapa mudah kita beradaptasi dengan lingkungan luar angkasa?
Tentu ini jadi kekhawatiran tersendiri bagi NASA. Bagaimana perjalanan ruang angkasa dan misi jangka panjang mengubah tubuh manusia, dan apakah perubahan itu permanen atau dapat berbalik begitu para astronot kembali ke Bumi, sebagian besar tidak diketahui.
Kesempatan untuk menggali pertanyaan-pertanyaan yang menarik ini muncul dari astronot kembar identik, Scott dan Mark Kelly.
Pada November 2012, NASA memilih astronot Scott Kelly untuk misi satu tahun pertamanya.
Pada konferensi pers tidak lama setelah itu, Scott mengisyaratkan bahwa misi ini mungkin memberinya kesempatan untuk membandingkan dampak hidup di ruang angkasa terhadap tubuhnya dengan tubuh saudara kembarnya yang tinggal di Bumi, Mark Kelly, yang juga seorang astronot dan mantan pilot uji coba Angkatan Laut.
Hebatnya, si kembar Kelly adalah individu-individu yang serupa dari sisi "bawaan (genetika) dan pengasuhan (lingkungan)". Jadi, percobaan yang sempurna ini disusun dengan “kembar ruang angkasa dan kembar Bumi” sebagai bintangnya.
Scott menghabiskan satu tahun di luar angkasa di Stasiun Luar Angkasa Internasional, sementara saudara kembar identiknya, Mark, tetap berada di Bumi.
Riset NASA TWINS merupakan pengamatan paling komprehensif atas respons tubuh manusia terhadap penerbangan luar angkasa yang pernah dilakukan. Hasil riset ini akan dijadikan panduan untuk riset mendatang dan pendekatan yang dipersonalisasi untuk mengevaluasi efek kesehatan astronot individu pada masa mendatang.
Sebagai ahli biologi kanker di Colorado State University, saya mempelajari dampak paparan radiasi terhadap sel manusia. Sebagai bagian dari riset TWINS, saya sangat tertarik untuk mengevaluasi bagaimana ujung-ujung kromosom, yang disebut telomere (telomer), diubah oleh ruang angkasa dalam waktu satu tahun.
NASA mengumumkan dan memilih 10 investigasi peer-review (penelaahan sejawat) dari seluruh negeri untuk riset TWINS. Risetnya termasuk langkah-langkah molekuler, fisiologis dan perilaku, dan untuk pertama kalinya dalam astronot, studi berbasis “omics”.
Beberapa tim mengevaluasi dampak luar terhadap genom-seluruh pelengkap DNA dalam sel (genomik). Tim lain memeriksa gen mana yang dihidupkan dan menghasilkan molekul yang disebut mRNA (transkriptomik).
Beberapa penelitian berfokus pada bagaimana modifikasi kimia - yang tidak mengubah kode DNA-mempengaruhi regulasi gen (epigenomik). Beberapa peneliti mengeksplorasi protein yang diproduksi dalam sel (proteomik), sedangkan yang lain meneliti produk metabolisme (metabolomik).
Ada juga riset yang meneliti bagaimana lingkungan luar angkasa mungkin mengubah microbiome - kumpulan bakteri, virus dan jamur yang hidup di dalam dan di luar tubuh kita.
Sebuah investigasi meneliti respons imun terhadap vaksin flu, dan tim lain mencari sampel biologis Scott untuk biomarker aterosklerosis dan pergeseran cairan ke atas dalam tubuh yang disebabkan oleh gaya berat mikro, yang dapat mempengaruhi penglihatan dan menyebabkan sakit kepala.
Kinerja kognitif juga dievaluasi menggunakan tes kognisi yang dijalankan komputer yang dirancang khusus untuk astronot.
Lebih dari 300 sampel biologis - feses, urin, dan darah - dikumpulkan dari si kembar beberapa kali sebelum, selama dan setelah misi satu tahun ini.
Tanpa ragu, si kembar Kelly adalah salah satu pasangan yang menjadi sorotan-di dalam atau di luar planet kita. Mereka juga salah satu yang paling sering diwawancarai.
Satu pertanyaan yang sering diajukan adalah apakah Scott akan menjadi lebih muda dari Mark sekembalinya ia dari luar angkasa- sebuah situasi yang mengingatkan kita pada “Interstellar” atau yang disebut Einstein “Paradoks kembar. ”
Namun, karena Stasiun Ruang Angkasa Internasional (ISS) tidak bergerak dengan kecepatan cahaya relatif, pelebaran waktu - atau pelambatan waktu karena gerakan - sangatlah minim. Jadi, perbedaan usia antara saudara kembar ini hanya akan menjadi beberapa milidetik.
VectorMine/Shutterstock.com
Meski demikian, pertanyaan tentang penuaan yang berhubungan dengan pesawat luar angkasa dan risiko penyakit yang berkaitan dengan usia, seperti demensia, penyakit kardiovaskular dan kanker - selama atau setelah misi - adalah pertanyaan yang penting, dan pertanyaan yang kami ingin jawab secara langsung dengan riset panjang telomere kami.
Telomer adalah ujung kromosom yang berfungsi untuk melindungi kromosom dari kerusakan dari “menjumbai” - seperti ujung tali sepatu. Telomer sangat penting untuk menjaga stabilitas kromosom dan genom. Namun, telomer secara alami memendek saat sel kita membelah, dan begitu juga dengan bertambahnya usia.
Tingkat telomer memendek dari waktu ke waktu dipengaruhi oleh banyak faktor, termasuk stres oksidatif dan peradangan, nutrisi, aktivitas fisik, tekanan psikologis, dan paparan lingkungan seperti polusi udara, sinar UV, dan radiasi pengion.
Dengan demikian, panjang telomer mencerminkan genetik , pengalaman, dan paparan individu, dan juga indikator informatif kesehatan umum serta penuaan.
Riset kami menunjukkan bahwa tekanan unik dan paparan luar biasa yang dialami astronot selama penerbangan ke luar angkasa - hal-hal seperti isolasi, gaya berat mikro, kadar karbon dioksida yang tinggi dan sinar kosmik galaksi - akan mempercepat pemendekan dan penuaan telomer.
Untuk menguji hal ini, kami mengevaluasi panjang telomer dalam sampel darah yang kami ambil dari si kembar sebelum, selama, dan setelah misi satu tahun.
Scott dan Mark memulai riset itu dengan panjang telomer yang relatif sama, yang konsisten dengan komponen genetik yang kuat. Juga seperti yang diharapkan, panjang telomer Mark yang berada di Bumi relatif stabil selama penelitian.
Tapi yang sangat mengejutkan kami, telomer Scott jauh lebih panjang di setiap titik waktu dan pada setiap sampel yang diuji selama penerbangan luar angkasa. Kasus tersebut terbalik dengan apa yang kami harapkan.
Selain itu, ketika Scott kembali ke Bumi, panjang telomer memendek dengan cepat, kemudian kembali stabil selama beberapa bulan berikutnya mendekati rata-rata sebelum penerbangan. Namun, dari sudut pandang penuaan dan risiko penyakit, ia memiliki telomer yang lebih pendek setelah penerbangan luar angkasa daripada sebelumnya.
Tantangan kami sekarang adalah mencari tahu bagaimana dan mengapa pergeseran khusus penerbangan luar angkasa dalam dinamika panjang telomer terjadi.
Temuan kami akan memiliki relevansi dengan penduduk dunia juga, karena nantinya kita semua mengalami penuaan dan mengalami kondisi terkait usia.
Hasil riset TWINS ini dapat memberikan petunjuk baru ke dalam proses yang terlibat, dan dengan demikian meningkatkan pemahaman kita tentang apa yang mungkin kita lakukan untuk menghindarinya atau memperpanjang rentang kesehatan.
Efek kesehatan jangka panjang dari penerbangan berdurasi panjang belum ditentukan, tapi riset TWINS mewakili langkah penting dalam perjalanan manusia ke bulan, Mars dan seterusnya… dan mengubah fiksi ilmiah menjadi fakta ilmiah.
Susan Bailey
Professor of Radiation Cancer Biology and Oncology, Colorado State University
Artikel ini dipublikasikan atas kerja sama Kompas.com dan The Conversation Indonesia dari judul asli "Apakah setahun di luar angkasa membuat Anda jadi lebih tua atau lebih muda?". Isi artikel di luar tanggung jawab Kompas.com.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.