KOMPAS.com - Pesawat Cessna King Air PK-CAC milik Kementerian Perhubungan RI sukses mendarat di landasan pacu New Yogyakarta International Airport (NYIA), Kulon Progo, Yogyakarta, Sabtu (20/4/2019).
Uji coba yang dilakukan untuk mengecek sistem Precision Approach Path Indicator (PAPI), menandakan bandara NYIA siap beroperasi.
Dari segi infrastruktur sudah siap, namun bagaimana dengan potensi gempa dan tsunami di kawasan tersebut?
Pakar gempa dari Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Widjo Kongko mengatakan, bandara NYIA berpotensi menghadapi tsunami setinggi 10 sampai 15 meter di bibir pantai dan gempa berkekuatan M 8,8 sampai 9.
Baca juga: Tinggal Dekat Bandara Rentan Kena Asma dan Penyakit Jantung
"Potensi gempa dan tsunami tidak ada perubahan. Sesuai dengan kajian terakhir, skenario (kekuatan gempa) masih di magnitude 8,8 dan tsunami yang bisa terjadi antara 10 sampai 15 meter di bibir pantai," terang Widjo dihubungi Kompas.com, Senin (22/4/2019).
Bila berdasar pemberitaan sebelumnya, jarak runway bandara NYIA sampai bibir pantai 400 meter dan ketinggian pondasi runway dari permukaan air laut sekitar tujuh meter.
Dari data tersebut, Widjo memodelkan bandara NYIA dapat terkena hantaman tsunami separuhnya atau sekitar empat meter.
"Kita tidak mengharapkan terjadi tsunami, tapi apabila skenario itu terjadi yang M 8,8 saya kira area bandara berpotensi terkena tsunami," imbuh Widjo.
Widjo menerangkan, potensi tsunami dan gempa besar di Kulon Progo disebabkan adanya zona subduksi yang dapat memicu gempa bumi Megathrust dan tsunami.
Berdasarkan kajian dari buku sumber gempa 2017, juga dicatat bahwa gempa di selatan Jawa bisa berkekuatan M 8,8 sampai M 8,9.
Ini bukan bandara di New York. Tapi ini di Kulon Progo DIY. Namanya New Yogyakarta International Airport = NYIA. Penyelesaian bandara dan sarana pendukung terus dikerjakan. Lanjutkan !! pic.twitter.com/J3FkVPkUc8
— Sutopo Purwo Nugroho (@Sutopo_PN) April 21, 2019
Widjo menambahkan, di masa lalu area di dekat bandara NYIA pernah diguncang gempa megathrust yang akhirnya menyebakan tsunami besar.
Melalui pengkajian yang dilakukan pakar gempa Eko Yulianto dari LIPI, panjang tsunami purba di kawasan tersebut mencapai lebih dari 1.000 kilometer dan Eko juga menemukan sedimen tsunami sepanjang 1,5 kilometer dari bibir pantai.
Mitigasi bencana
Widjo mengkritisi idealnya pembangunan runway tidak boleh dekat pantai karena ada ancaman tsunami dan angin besar.
Namun karena sudah dibangun dan siap digunakan, maka warning system dan upaya mitigasi lain harus diterapkan, seperti bangunan harus lebih tinggi dari perkiraan gelombang tsunami, untuk lantai bawah diharapkan ada banyak ruang supaya air bisa lewat, ada tanggul pasir yang cukup lebar, dan terpenting penghijauan di sekitar pantai dengan menanam pohon besar seperti cemara atau bakau.
"Kalau (luas) penghijauan sebenarnya tergantung area yang tersedia ada berapa. Namun paling tidak lebar (penghijauan) 100 meter atau lebih agar mampu mengurangi efek tsunami. Hal ini supaya (gelombang tsunami) lebih rendah dan lebih pelan," terang dia.
Baca juga: Tsunami Selat Sunda, Sebuah Pembelajaran untuk Mitigasi Bencana
Menurut Widjo, berdasarkan penelitian di beberapa lokasi gempa, termasuk Palu, daerah yang ditumbuhi bakau efektif mengurangi efek tsunami.
Selain penghijauan, upaya pencegahan yang disebutkan Widjo akan membantu mengurangi ketinggian tsunami, sehingga saat sampai di area runway atau terminal ketinggiar air akan semakin kecil.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.