Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Himpunan Ahli Geofisika Indonesia (HAGI)
Himpunan Ahli Geofisika Indonesia

Himpunan Ahli Geofisika Indonesia (HAGI)

Tsunami Selat Sunda, Sebuah Pembelajaran untuk Mitigasi Bencana

Kompas.com - 31/03/2019, 23:04 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Oleh: Admiral Musa Julius*

TANGGAL 22 Desember lalu kita dikejutkan dengan bencana tsunami yang menimpa pantai barat provinsi Banten dan selatan provinsi Lampung.

Tidak diduga, tsunami datang tanpa didahului guncangan gempa bumi. Hingga kini para ilmuwan masih menyimpulkan bahwa tsunami tersebut dikategorikan sebagai tsunami vulkanik atau dalam kata lain tsunami yang dipicu oleh aktivitas erupsi gunung Anak Krakatau di selat Sunda. 

Secara keilmuan, penyebab tersebut memang logis terjadi karena erupsi gunung berapi mampu menyebabkan badan gunung tersebut longsor ke perairan hingga menyebabkan ketidakstabilan kolom laut.

Ketidakstabilan kolom laut membangkitkan gelombang panjang yang menjalar ke segala arah, termasuk ke kawasan pantai terdekat yakni pantai barat Banten dan selatan Lampung.

Baca juga: Geliat Kehidupan Warga Lampung Selatan Pasca-tsunami Selat Sunda...

Gelombang panjang yang dibangkitkan oleh aktivitas geologis tersebut yang dikenal dengan tsunami.

Tsunami Selat Sunda tentu mengejutkan karena melanda pantai barat Banten dan selatan Lampung pada malam hari.

Kejadian tsunami akibat aktivitas vulkanik memang sangat jarang terjadi. Sejarah menuliskan bahwa tsunami yang diakibatkan erupsi gunung berapi sebelumnya terjadi pada tahun 1883, yakni tsunami akibat aktivitas gunung Krakatau.

Tsunami tahun 1883 tersebut diyakini lebih dahsyat karena menimbulkan korban jauh lebih banyak daripada tsunami yang baru saja terjadi.

Lokasi Indonesia yang berada pada pertemuan tiga lempeng tektonik dunia menyebabkan wilayah Indonesia rawan dengan kejadian tsunami dari berbagai akibat.

Namun kejadian tsunami akibat selain gempabumi jarang terjadi karena tsunami lebih dominan timbul dari gempabumi berpusat di laut, berkekuatan magnitudo besar, dan berkedalaman dangkal.

Baca juga: Pramuka hingga Emak-emak Kumpulkan Rp 174,7 Juta untuk Korban Tsunami Selat Sunda

Dalam kajian ilmu kebumian, kejadian tsunami tidak hanya dibangkitkan oleh gempa bumi, namun juga dapat dibangkitkan oleh fenomena lainnya yang mengganggu kestabilan kolom laut seperti aktivitas gunung berapi yang berada di laut, longsoran yang menuju ke laut dan jatuhnya benda-benda langit yang mengarah ke laut.

Presiden Joko Widodo (Jokowi) berbicara kepada media saat meninjau lokasi terdampak tsunami di kawasan Pandeglang, Banten, Senin (24/12/2018). Berdasarkan data terakhir dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), tsunami Selat Sunda yang terjadi Sabtu (22/12/2018) malam tersebut sedikitnya telah menelan 231 korban meninggal, 1.016 luka-luka dan 57 korban hilang.BIRO PERS DAN MEDIA Presiden Joko Widodo (Jokowi) berbicara kepada media saat meninjau lokasi terdampak tsunami di kawasan Pandeglang, Banten, Senin (24/12/2018). Berdasarkan data terakhir dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), tsunami Selat Sunda yang terjadi Sabtu (22/12/2018) malam tersebut sedikitnya telah menelan 231 korban meninggal, 1.016 luka-luka dan 57 korban hilang.
Pelajaran yang dapat kita petik yakni perlu mengkaji lebih giat lagi tsunami yang diakibatkan oleh bukan gempa bumi dan perlu memetakan lokasi yang rawan.

Bahaya gempa bumi dan tsunami akibat aktivitas tektonik sudah mulai dipetakan, namun selat Sunda mengajarkan kita perlu juga memetakan bahaya tsunami akibat aktivitas vulkanik.

Tidak hanya akibat gunung Anak Krakatau, namun juga gunung berapi lainnya yang juga berada di laut wilayah Indonesia.

Halaman:


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau