Oleh Juliana Wijaya
BERADA di Cincin Api Pasifik, wilayah yang secara geologis paling aktif di dunia, Indonesia rentan terhadap bencana alam.
Pada Juli dan Agustus 2018 gempa bumi, yang seperti tak habis-habisnya melanda Bali dan Lombok, menewaskan lebih dari 600 orang.
Tidak lama kemudian, gempa bumi menghantam pantai Sulawesi Tengah, diikuti oleh tsunami lokal yang melanda Kota Palu dan sekitarnya. Lebih dari 2.100 orang tewas.
Hanya beberapa hari sebelum Natal 2018, tsunami melanda pesisir Pulau Jawa dan Sumatera. Dipicu oleh runtuhnya sebagian gunung api Anak Krakatau ke laut setelah letusannya, bencana ini menewaskan sedikitnya 420 orang.
Beberapa analis telah mengomentari kesiapan dan tanggapan pemerintah terhadap bencana ini.
Namun, di masyarakat sendiri, ada cara pandang yang mengaitkan unsur-unsur keimanan dengan bencana alam. Misalnya, bahwa terdapat dua masjid di Palu yang tetap berdiri—sementara bangunan yang lain hancur—memicu perdebatan tentang intervensi Ilahi dalam bencana alam ini.
Baik sebagai respons langsung terhadap bencana maupun sebagai cara untuk dapat menghadapi dampak bencana, banyak anggota masyarakat menanggapi ketidakpastian dari alam dengan sikap “lihat saja nanti”.
Masyarakat Indonesia menggunakan konsep pasrah, yang berarti berserah kepada Tuhan, untuk mengartikulasikan sikap ini. Pasrah memiliki makna yang berbeda bagi setiap individu dan komunitas, tapi konsep itu sendiri dikenal oleh banyak agama di dunia.
Dalam konsep pasrah, nasib umat manusia sepenuhnya ditentukan oleh Tuhan sehingga tidak begitu masuk akal bagi manusia untuk berencana menghadapi kejadian-kejadian dan akibat-akibat yang tidak terduga.
Interpretasi pasrah yang lain menyatakan bahwa manusia harus berusaha sekuat tenaga sambil memahami bahwa pada titik tertentu nasiblah yang menentukan.
Meski bukan merupakan konsep yang khusus untuk Indonesia saja, lazimnya konsep pasrah di seluruh kepulauan Indonesia memengaruhi perencanaan penanggulangan bencana alam dan konservasi lingkungan.
Ketika semua sudah ditakdirkan, apa gunanya merencanakan kebijakan dan langkah untuk mengurangi dampak dari bencana alam, atau mengakui bahwa manusia memiliki peran dalam melindunginya?
Sikap pasif terhadap bencana
Penyebab bencana alam di Indonesia—kenyataan bahwa Indonesia merupakan negara kepulauan yang terletak di atas pertemuan lempeng Bumi dan memiliki banyak gunung api—juga telah menjadikan negeri ini sebagai salah satu daerah yang lingkungannya paling produktif di dunia.
Negara ini memiliki tanah yang kaya nutrisi dan terumbu karang yang kaya dengan ikan. Selama beberapa generasi, rakyat Indonesia dan penjajah dari Barat telah memanfaatkan sumber daya ini.
Namun, kekayaan yang tampaknya tak terbatas—dieksploitasi melalui pertambangan, produksi minyak kelapa sawit, dan penangkapan ikan tanpa kendali—malah menciptakan masalah yang luar biasa: Indonesia memiliki tingkat kerusakan lingkungan tercepat di dunia, dan tampaknya belum ada solusi efektif untuk mengatasinya.
Pemerintah Indonesia terus berjuang untuk mempersiapkan komunitas lokal untuk menghadapi bencana, baik bencana akibat manusia maupun bencana alam, terutama ketika orang umumnya percaya bahwa apa pun yang terjadi itu adalah kehendak Tuhan.
Dari Juni sampai September 2018, kami mewawancarai sekitar 30 penduduk di Yogyakarta dan Salatiga, Jawa Tengah, untuk lebih memahami arti konsep pasrah terhadap bencana alam yang dipengaruhi manusia ataupun tidak untuk kesiapsiagaan di masa depan.
Kami meminta informasi dari penduduk Yogyakarta yang tinggal di dekat Gunung Merapi dan Kota Salatiga yang terletak 23 kilometer di utara kaki Gunung Merapi. Banyak penghuni Salatiga ingat letusan-letusan Gunung Merapi pada masa lalu. Karena jumlah penduduknya yang lebih dari 170.000 jiwa, Salatiga adalah kota terbesar di daerah bencana berisiko tinggi.
Kami menyurvei dan mewawancarai penduduk dari berbagai latar belakang, dan terlihat jelas dari penjelasan para penduduk, konsep pasrah dan takdir memengaruhi pemikiran mereka tentang pelestarian lingkungan.
Kami menemukan bahwa mereka yang percaya bahwa bencana alam secara langsung dipengaruhi oleh Tuhan cenderung berpendapat bahwa manusia bukan penyebab kerusakan lingkungan.
Sebaliknya, mereka yang tidak melihat bencana alam sebagai kehendak Tuhan cenderung beranggapan manusia berperan dalam kerusakan lingkungan, seperti limbah plastik, pencemaran udara dan air, dan penggunaan sumber daya alam di hutan dan laut secara berlebihan.
Penting untuk dicatat bahwa bagi banyak orang yang kami wawancarai, pasrah bukan hanya disebabkan sikap pasif. Pasrah juga merupakan sikap berserah yang timbul dari ketidakmampuan untuk meninggalkan daerah rawan bencana karena mereka kurang mampu atau tidak memiliki tempat tinggal yang lain.
Ada juga karena kegagalan pemerintah menghadapi kerusakan lingkungan yang parah akibat berbagai hal, dari penangkapan ikan yang tak terkendali, deforestasi, hingga polusi plastik.
Mengenal sikap agama dan budaya
Mengingat tingginya tingkat kehancuran lingkungan yang diakibatkan manusia dan alam di Indonesia, semakin penting bagi pemerintah untuk menanggapi konsep-konsep tertentu dari agama dan budaya yang menghambat masyarakat dalam merespons secara efektif bencana alam.
Pemerintah juga perlu mengatasi faktor-faktor eksternal yang membuat orang tidak dapat meninggalkan daerah bencana tepat waktu, seperti kegagalan sistem peringatan bencana.
Dalam hal pengelolaan lingkungan, konsep keagamaan di luar pasrah juga dapat memberikan pelajaran berharga untuk mengatasi masalah tragedi milik bersama ini. Lebih dari 750 ayat dalam Al Quran berhubungan dengan lingkungan. Agama Kristen juga mengajarkan untuk menghormati semua ciptaan Tuhan.
Ajaran-ajaran ini diakui secara luas di antara orang-orang yang kami survei dan menambahkan perspektif yang kritis pada konteks pasrah dalam kehidupan sehari-hari.
Terkait dengan hal ini, karena degradasi lingkungan meningkat dengan cepat, sangat penting untuk memahami bagaimana keyakinan-keyakinan budaya mendukung atau menghambat pengelolaan lingkungan. Ajaran agama dapat membuka wawasan untuk mengatasi hambatan ini.
Namun, pada akhirnya pemahaman yang lebih mendalam tentang beragam komunitas di seluruh Indonesia dan berbagai tantangan yang mereka hadapi adalah langkah pertama untuk mempersiapkan masyarakat ketika bencana terjadi.
Masa depan manusia mungkin tetap menjadi kehendak Tuhan, tapi masa depan kesehatan lingkungan dunia tetap di tangan manusia.
Artikel ini ditulis bersama dengan Chloe King, mahasiswa Hubungan Internasional di Universitas George Washington.
Juliana Wijaya
Lecturer in Indonesian, University of California, Los Angeles
Artikel ini dipublikasikan atas kerja sama Kompas.com dan The Conversation Indonesia dari judul asli "Hidup dengan bencana alam–bagaimana menghadapi budaya pasrah di Indonesia". Isi artikel di luar tanggung jawab Kompas.com.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.