KOMPAS.com - Meningkatnya wabah campak di seluruh dunia, membuat semua orang awas diri. Tak dipungkiri, salah satu yang bisa melindungi diri dari penyakit menular ini hanyalah vaksin.
Namun bagaimana jika orangtua atau wali kita adalah kelompok anti vaksin atau menolak vaksin karena kepercayaan pada konspirasi vaksin?
Hal seperti ini mungkin dialami banyak orang, salah satunya Ethan Lindenberger. Dia adalah pemuda 18 tahun asal Ohio, Negara Bagian AS yang hidup tanpa vaksin dan akhirnya melakukan pemberontakan pada orangtuanya sendiri.
Singkat cerita, Lindenberger belum pernah divaksinasi karena kepercayaan ibunya tentang dampak vaksin yang justru membuat anak menjadi autis.
Baca juga: WHO: Kasus Campak di Dunia Meningkat, Perangi dengan Vaksin
Oleh karena itu, Linderberger muda mulai mencari tahu sendiri apa itu vaksin, termasuk berkonsultasi dengan Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) AS.
Karena usianya pada 2018 genap 18 tahun, secara hukum Lindenberger sah membuat keputusan sendiri.
Langkah awal yang dilakukannya adalah memposting video di laman Reddit ang isinya meminta saran bagaimana mendapat vaksinasi.
Dilaporkan Washington Post, Senin (4/3/2019) pada bulan Desember remaja itu pergi ke Departemen Kesehatan Ohio. Di sana dia menerima serangkaian vaksinasi standar yang mencakup hepatitis A, hepatitis B, influenza dan HPV.
"Saya membuktikannya sendiri. Jelas ada jauh lebih banyak bukti untuk mempertahankan vaaksin dan melakukan vaksin," kata Lindenberger dalam wawancara dengan The Post, Februari lalu.
Keberaniannya ternyata meluas dan menjadi "virus" baru di tengah wabah campak yang menyarang AS. Setidaknya dia dapat memengaruhi lebih dari 100 orang AS dan mendorong peningkatan pengawasan orangtua yang tidak memperbolehkan anak-anaknya divaksinasi.
Pemberontakan yang dilakukan Lindenberger tak hanya menarik perhatian media, tapi juga Kongres Nasional.
Lewat sambungan Youtube-nya, Sabtu lalu (2/3/2019), dia mengumumkan diundang untuk menjadi pembicara di hadapan Komite Senat Kesehatan, Pendidikan, Perburuan, dan Pensiunan yang akan dilangsungkan hari ini, Selasa (5/3/2019). Kisahnya akan menjadi bagian dalam misi pemerintah setempat memeriksa wabah penyakit yang dapat dicegah.
I’m happy to share that I’ll be testifying at a hearing for the committee of health, education labor, and pensions about the importance of vaccinations! Check out the video here!https://t.co/sPM12poJVi
— Ethan (@ethan_Joesph16) March 3, 2019
Dia akan menjadi tamu bersama para ahli seperti John Wiesman, sekretaris kesehatan negara bagian Washington dan Saad B. Omeer, profesor dari Universitas Emory, Georgia.
"Saya tidak sabar lagi berbicara di Washington DC," katanya dalam video yang diunggahnya.
Menurut Associated Press, Sidang Senat ini dilakukan setelah ada 68 orang di Pasifik Barat Laut mengidap campak.
Sikap orangtua Ethan Lindenberder
Sikap Ethan Lindenberger dalam memproteksi diri tentu saja mendapat pujian dari banyak kalangan, tapi bagaimana reaksi orangtuanya?
Dalam wawancara dengan Undark, sebuah majalah sains yang pertama kali memberitakan kisah Linderberger, ibunya yang bernama Jill Wheeler merasa bahwa anaknya sedang mencemoohnya.
"Dia seperti meludahi saya sambil berkata 'kamu tidak tahu apa-apa, bu. Aku tak percaya lagi denganmu'," ungkap ibu empat anak itu.
Melalui unggahan di Reddit, Lindenberger juga sempat bercerita bahwa ayahnya agak menentang aksi yang dilakukannya.
"Hatiku hancur karena mereka (keluarga) bisa terkena campak dan akhirnya meninggal," kata Lindenberder dalam wawancara dengan The Post.
Baca juga: Pecahkan Rekor, Wabah Campak di Eropa Capai Jumlah Kasus Terbanyak
Negara bagian Oregon dan Washington memang mengijinkan para orangtua untuk tidak memvaksinasi anak-anak karena alasan probadi atau filosofis. Wilayah tersebut adalah tempat bagi orangtua yang sangat vokal melarang anak-anak divaksinasi.
Saat ini negara bagian Wshington sedang berusaha mengesahkan Undang-Undang vaksinasi dan menghadapi oposisi dari kelompok anti vaksin.
Menurut catatan CDC, meningkatnya wabah campak berbanding lurus dengan peningkatan jumlah orang yang bepergian ke luar negeri, misalnya ke negara yang mayoritas tidak divaksinasi.
Wabah itu dikaitkan dengan beberapa komunitas Yahudi Ortodoks yang memilih tidak memvaksinasi keluarganya, akhirnya justru menularkan virus ke turis di Israel yang sedang mengalami wabah.
Pada 2017, wabah yang menyerang 75 orang di komunitas Amerika Somalia di Minnesota dikaitkan dengan cakupan vaksinasi yang rendah.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.