Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Prabowo Janji Tambah Kebun Sawit Plasma, Bakal seperti Apa Nasib Indonesia?

Kompas.com - 19/02/2019, 20:33 WIB
Resa Eka Ayu Sartika

Penulis

KOMPAS.com - Debat calon presiden pada Minggu (17/02/2019) malam menyisakan beberapa pertanyaan dalam benak masyarakat, terutama soal sawit Indonesia.

Kedua calon presiden menyatakan ide pemafaatan kelapa sawit untuk biodiesel dan biofuel. Terlebih, Prabowo Subianto menyatakan ingin memperbanyak jumlah perkebunan sawit plasma untuk meningkatkan kesejahteraan petani.

Pendapat ini menimbulkan pertanyaan bagaimana nasib hutan Indonesia ketika program tersebut dilaksanakan?

Terkait pertanyaan tersebut, Kompas.com menghubungi Jefri Gideon Saragih, seorang pengamat sawit.

Baca juga: Dua Capres Ingin Kembangkan Biodiesel Sawit, Bagaimana Nasib Hutan Indonesia?

Menurut Jefri, terkait pengembangan biodiesel dan biofuels, pemerintah harus mengoptimalkan produksi dari perkebunan yang ada saat ini.

"Saya pikir, tagline yang harus ada dalam policy pemerintah terkait pengembangan biofuels adalah stop ekspansi sawit dengan mengoptimalkan produksi dari perkebunan yang sudah ada," ungkap Jefri melalui pesan singkat, Senin (18/02/2019).

"Jadi tidak akan ada lagi pengembangan sawit baru alias tidak ada ijin baru. Bagaimana mungkin pemerintah memberi ijin baru sementara produksi CPO Indonesia sudah mencapai 42 juta ton dari 15 juta ha kebun sawit," imbuhnya.

Jefri juga mengungkapkan, faktor lain yang seharusnya membuat pemerintah tidak membuat ijin baru perkebunan sawit adalah harga crude palm oil (CPO) di pasar internasional yang menurun.

"Ini mempengaruhi harga tandan buah segar (TBS) di tingkat petani," ujar Jefri.

Meski begitu, Jefri mengungkap bahwa pengembangan biofuels sudah sepatutnya didukung.

"Selain merupakan pengembangan industri hilir sawit menuju end product yang bisa mengurangi impor solar, juga baik untuk mengelola CPO domestik yang selama ini banyak dijual ke Eropa," kata Jefri.

"Semua orang tahu, ada barrier perdangan antara Indonesia dan Uni Eropa terkait minyak sawit karena CPO dituduh melakukan deforestasi yang membuat degradasi lingkungan dan konflik sosial," sambungnya.

Dia menambahkan, dengan pemanfaatan sawit untuk biofuels dari B20 sampai B100, sudah barang tentu menjadi peluang bagi Indonesia dalam renewable energy.

Baca juga: Serikat Petani Kelapa Sawit Tanggapi Pernyataan Jokowi dan Prabowo dalam Debat Capres

Ancaman Deforestasi

Greenpeace awasi tindakan Wilmar pantau pemasok minyak kelapa sawit dari penggundulan hutan di Indonesia.Greenpeace Greenpeace awasi tindakan Wilmar pantau pemasok minyak kelapa sawit dari penggundulan hutan di Indonesia.

"Permasalahannya adalah apakah dengan pengembangan B20 sampai B100, akan membuat produsen melupakan prinsip-prinsip sawit berkelanjutan? Ini yang harus diawasi dan dipastikan presiden Indonesia ke depan!," tegasnya.

Jefri menuturkan, persoalan sawit yang terkait dengan deforestasi, sebenarnya bukan soal legalitas konversi hutan jadi kebun sawit dan pengawasannya.

"Tapi hal mendasar yang belum tuntas adalah definisi hutan itu sendiri apa, data kawasan dan batas hutan serta tata kelola hutan," kata Jefri.

Lebih lanjut, dia juga menegaskan bahwa persoalan hutan dan sawit di Indonesia bukan hanya soal legalitas dan pengawasan.

"Sangat kompleks!," tegas Jefri.

Konflik Agraria

"Misalnya perusahaan sudah punya legalitas kebun sawitnya yang dikonversi dari kawasan hutan. Tapi di dalam lahan itu sendiri ada masyarakat yang sudah lama tinggal dan mengelolanya untuk bertani atau berkebun," kisah Jefri.

Menurut dia, hal semacam inilah yang kerap menimbulkan konflik antara pemerintah dengan masyarakat.

"Pilihannya adalah apakah mereka membayar ganti rugi? Menggusur masyarakat dengan bantuan aparat penegak hukum atau membiarkannya begitu saja? Ini hal yang kerap menimbulkan konflik!" kata Jefri.

Sayangnya, menurut Jefri, hingga kini persoalan semacam itu belum mendapatkan penyelesaian yang komprehensif.

Baca juga: Solusi Meningkatkan Minyak Sawit tanpa Perluasan Lahan

Dia juga mempertanyakan kenapa pemerintah sampai menerbitkan lahan di atas lahan masyarakat yang sudah dihuni puluhan atau bahkan ratusan tahun?

Dia menegaskan, "Baiknya sih, 5 tahun ke depan, pemerintah fokus pada penyelesaian konflik lahan di kawasan hutan dan non hutan dengan memperhatian banyak aspek. Bukan hanya legalitas dan pengawasan, tapi juga secara historis, sosiologis dan antropologis."

"Ini yang menjadi PR besar pemerintah ke depan," ujarnya.

Jefri menyarankan pemerintah segera bisa menyelesaikan permasalahan semacam ini.

"Kalau ini bisa diselesaikan, termasuk soal kesejahteraan buruh, saya pikir produk CPO ini akan sustainable. Dan ketika mengembangkan biofuels, banyak pihak akan mendukung," ucapnya.

"Ini pun tentu dengan syarat tambahan persyaratan, perusahaan produsen biofuels diwajibkan bermitra dengan petani sawit mandiri yang jumlahnya semakin besar," pungkas Jefri.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com