Siasat kandidat presiden dalam debat
Logika panggung mendorong para kandidat untuk tampil sempurna. Untuk mencapai tujuan itu, kandidat memanfaatkan berbagai strategi.
Berdasarkan pengamatan pada debat calon presiden Indonesia 2014 lalu dan juga debat calon presiden Amerika tahun 2016, ada beberapa siasat bahasa yang biasanya digunakan para kandidat untuk memenangkan debat presiden.
1. Penggunaan metafora
Metafora sering dipakai dalam debat karena mampu menyederhanakan konsep yang ruwet menjadi lebih konkret. Metafora juga bisa membuat pernyataan yang kering menjadi seolah-olah punya jiwa.
Dalam debat 2014 lalu, Presiden Joko Widodo memakai beberapa metafora. Misalnya, dia menggunakan frasa “revolusi mental” untuk menyebut perubahan cara berpikir. Ia juga menggunakan “tol laut” untuk menyebut sistem transportasi antarpelabuhan yang lebih lancar dan murah.
Lawannya, Prabowo Subianto, menggunakan metafora “bocor” untuk menggambarkan hilangnya potensi pendapatan negara. Adapun untuk menggambarkan keunggulan bangsa, ia menggunakan frasa “macan Asia”. Kata “bocor” membangkitkan afeksi negatif, adapun “macan” sebaliknya.
2. Penggunaan kata ganti orang
Meski tampak sederhana, penggunaan kata ganti bisa berdampak besar. Penggunaan kata ganti orang yang tepat bisa menjelaskan tidak hanya hubungan pembicara dan pendengarnya tapi juga keberpihakan pembicara.
Saat menyampaikan kabar baik, kandidat cenderung menggunakan kata ganti orang pertama: saya, kami, atau kita. Sebaliknya, saat menyampaikan kondisi buruk mereka cenderung menggunakan kata ganti orang ketiga: dia atau mereka.
Secara kognitif, strategi ini bisa memanipulasi pikiran publik agar meyakini pembicara adalah pribadi baik dan lawan sebaliknya.
3. Pengaturan rima
Penelitian yang dilakukan oleh ahli kejiwaan Amerika Serikat Blake Myers-Schulz menunjukkan bahwa bunyi bahasa dapat mempengaruhi emosi lawan bicara.
Dalam penelitian tersebut, vokal “a” dan “o” ternyata cenderung berdampak lebih positif secara psikologis dibandingkan vokal “i”. Kecenderungan ini terjadi karena vokal “i” memiliki rentang frekuensi lebih panjang (240-2400 Hertz). Adapun vokal “a” memiliki rentang frekuensi yang pendek (850-1.680 Hertz).
Memang tidak mutlak, tetapi kecenderungan itu cenderung konsisten. Karena itu, bunyi akhir “a” sering dipakai untuk mendeskripsikan diri dan vokal “i” cocok untuk mendeskripsikan pihak lawan.