Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
The Conversation
Wartawan dan akademisi

Platform kolaborasi antara wartawan dan akademisi dalam menyebarluaskan analisis dan riset kepada khalayak luas.

Penjelasan di Balik Aksi Penjarahan Pascagempa Palu

Kompas.com - 04/01/2019, 11:50 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Dalam peristiwa bencana, kehilangan harta milik berharga secara tak terduga membawa ancaman terhadap rasa memegang kendali ini, sehingga menimbulkan goncangan psikologis.

Dalam situasi demikian, naluri dasar untuk bertahan hidup muncul, dan mendorong individu untuk mencari cara-cara baru untuk memulihkan kendali, termasuk melakukan hal-hal berisiko seperti menjarah.

Di masa-masa awal pasca bencana di Palu, barang-barang yang umumnya dicari warga adalah barang kebutuhan sehari-hari seperti bahan makanan dan BBM. Barang-barang seperti ini bersifat praktis, yang kerap diasosiasikan dengan kemampuan menyelesaikan masalah.

Karena berhubungan dengan penyelesaian masalah, penggunaan barang-barang ini secara psikologis dapat menumbuhkan rasa “memegang kendali”, sehingga amat penting dalam situasi kritis.

Namun, bagaimana dengan penjarahan barang-barang elektronik dan mewah yang juga sempat dilaporkan?

Individu versus kelompok

Penjarahan barang-barang mewah pascabencana di Palu ini secara etis mungkin sulit diterima.

Perilaku ini mungkin menjadi jelas bila kita memahami aksi penjarahan ini sebagai akibat dari proses pembenaman identitas individual demi kepentingan kelompok atau deindividuationyang ekstrem, di saat warga membangun modal sosial menghadapi bencana.

Menurut teori deindividuation, perilaku seorang individu ketika sedang sendiri cenderung berbeda ketika individu itu sedang berinteraksi dalam kelompok. Di dalam kelompok, nilai dan prinsip-prinsip individu cenderung ditekan agar modal sosial dapat tumbuh.

Dalam situasi kritis seperti bencana, prinsip-prinsip moral individu yang awalnya kuat dibenamkan dan diganti dengan norma bersama yang muncul sebagai modal untuk menyelesaikan persoalan yang mendesak. Norma kelompok itu muncul melalui proses saling bertukar informasi.

Dalam bukunya Going to Extremes (2009), pakar hukum dan ekonomi Universitas Harvard, Cass Sunstein, menyatakan bahwa ketika individu-individu yang sedang menghadapi persoalan bersama saling bertukar informasi sebagai sebuah kelompok, mereka cenderung akan menghasilkan sikap dan tindakan yang lebih ekstrem dibanding sikap dan tindakan mereka sebagai individu.

Ketika warga bertukar informasi dan menyadari bahwa mereka sedang berada dalam krisis, norma "apa saja baik dilakukan agar bisa keluar dari krisis” mudah muncul dan dibenarkan.

Apabila seorang warga melihat warga lain mengambil barang tertentu yang sesungguhnya bukan kebutuhan pokok, maka ia pun mudah membenarkan bahkan meniru perilaku tersebut, karena norma kelompok yang terbentuk telah membenamkan prinsip moral yang dipegangnya.

Cengkeraman konsumerisme

Selain alasan di atas, penjarahan terhadap barang-barang mewah pasca bencana di Palu ini juga merefleksikan pola hidup konsumtif dalam masyarakat Indonesia.

Halaman:


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Terpopuler

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau