"Sebisa mungkin di salah satu dari tiga pulau yang ada. Karena semakin dekat dengan sumber maka sinyalnya semakin kuat. Tetapi harus diperhatikan juga keselamatan alat. Jangan sampai terlalu mudah rusak karena letusan," jelasnya.
Menurutnya, tsunami akibat Anak Krakatau terbilang unik di dunia. Dengan demikian, pengembangan sistem peringatan dininya pun perlu pendekatan lokal. Ini menjadi kesempatan bagi Indonesia untuk mengembangkan sendiri mulai dari konsep.
"Jangan seperti 2004, kesempatan berinovasi anak negeri tercaplok oleh orang2 jerman yang waktu itu baru belajar tsunami," katanya.
Kendalanya...
Meski mudah, membangun sistem peringatan dini ini tetap memiliki kendala. Terutama pada alat sensor buoy.
"Masalahnya buoy sejak 2007 sudah tidak beroperasi karena rusak, kemudian dicuri dan sebagainya," kata Hamzah.
"Setiap terjadi gempa, tsunami buoy yang jadi kambing hitam. Sekarang pemerintah mau tidak mau membuat buoy alat pantau," imbuhnya.
Kendala pembangunan sistem peringatan dini tsunami tak berhenti di situ saja. Widjo mengibaratkan pembangunan sistem ini tak semudah membeli barang.
"Karena ada sistem yang harus dibangun, ada beberapa alat-alat yang harus diintegrasikan, dan lain-lain. Harus dibangun betul (sistemnya)," tegas Widjo.
Melihat kendala-kendala itu, Hamzah mengusulkan pemasangan alat yang disesuaikan dengan kebutuhan, yaitu saat gunung berapi aktif.
Hamzah mencontohkan beberapa gunung yang dulu pernah juga memicu terjadinya tsunami.
"Tapi kan kalau tidak aktif ya tidak usah dipasangi alat. Kalau aktif selama 3-4 bulan seperti ini, kan harusnya pemerintah sudah aware," ungkapnya Hamzah.
Baca juga: Menyoal Dakwaan pada Anak Krakatau tentang Kasus Tsunami Selat Sunda
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.