KOMPAS.com – Dalam sebuah kontestasi politik, berbagai macam cara akan dilakukan untuk menjadi pemenang. Hal ini bisa dilihat pada 2016 silam di Amerika ketika Donald Trump berhasil memenangkan posisi presiden dengan mengalahkan Hillary Clinton.
Trump, dengan pembawaannya yang agresif, diperkirakan oleh banyak orang tidak dapat mengalahkan Hillary Clinton dan memenangkan kursi orang nomor satu di Amerika serikat. Nyatanya, hingga saat ini Trump yang menduduki posisi tersebut.
Menurut ahli, alasan di balik kemenangan Trump adalah dengan menggunakan neurosains atau yang menurut dr Roslan Yuni Hasan, neuropolitik. Dalam hal ini, apa yang dilakukan Trump adalah dengan menggunakan narasi-narasi yang diutarakan ke publik untuk mempengaruhi otak mereka agar memilih dirinya.
Satu hal penting yang digunakan adalah dengan menggunakan narasi yang menakut-nakuti masyarakat Amerika.
Baca juga: Terancam Punah karena Iklim, Spesies Amfibi Baru Dinamai Donald Trump
“Contohnya, orang dikondisikan agar tidak nakal dengan ditakut-takuti. Akhirnya, ketakutan menjadi lebih efektif untuk memberikan pelajaran pada manusia daripada pemberian harapan pada mereka,” ujar dokter yang akrab disapa Ryu ini pada diskusi media yang diadakan pada Jumat (21/12/2018) di Jakarta.
Ryu menjelaskan bahwa cara yang digunakan Trump berhasil mempengaruhi orbitofrontal cortex (OFC) pada otak manusia. OFC adalah bagian di lobus frontal otak yang terlibat dalam proses kognitif pengambilan keputusan seseorang. Ketika berhasil mempengaruhi bagian ini, maka seseorang dapat dengan mudah diarahkan keputusannya.
Dengan berlandaskan pada prinsip bahwa manusia akan lebih mudah dikondisikan dengan cara ditakut-takuti, maka neuropolitik membuat target dari narasi tersebut menjadi berpikir bahwa orang yang mengatakannya adalah solusi dari ketakutan yang diciptakan.
Padahal, asumsi tersebut tidak bisa dikatakan benar. Bahkan, Ryu menjelaskan bahwa cara ini hanya berlaku dalam jangka waktu yang tidak lama dan memiliki kecenderungan membuat orang yang terpengaruh menyesali pilihannya.
Baca juga: Hadir di Our Ocean Conference Bali, John Kerry Sentil Trump dan China
Hal serupa pun terjadi pada berita-berita hoaks yang tersebar di dunia maya saat ini. Berita hoaks akan lebih mudah disebarkan oleh orang yang menerima berita tersebut daripada berita lainnya. Hal ini juga yang menyebabkan manusia tidak lagi membutuhkan informasi yang ada, tetapi mencari informasi yang mereka butuhkan.
Menyoroti hal ini, Ryu berkata bahwa metode yang sama mungkin saja akan diterapkan di Indonesia, terutama jika melihat masyarakat Indonesia yang memiliki religiusitas tinggi.
Melansir dari Antara pada Selasa (27/11/2018), Ryu menjelaskan bahwa masyarakat dengan religiusitas yang tinggi akan membuat ikatan kelompok yang begitu kuat, sehingga ketika sang pemimpin menyatakan suatu hal, maka massanya pun akan mengikut.
“Narasi yang disampaikan Donald Trump betul-betul menghipnotis Amerika. Bayangin, dia datangin Fifth Avenue New York dan bilang 'Kalau saya sekarang menembak orang, saya tidak akan kehilangan pemilih',” jelas Ryu.
“Meskipun tidak relevan sama sekali, narasi tersebut bisa memberikan afirmasi pada selera yang kamu ambil. Pada saat dia diberikan otoritas, nilai yang diberikan itu dibuang,” pungkas Ryu.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.