KOMPAS.com - "Dadi wong Jowo yo Trapsilo'e wong Jowo. Iku wis dadi kapercayanku, dadi uripku. (Menjadi orang Jawa harus berperilaku mengutamakan budi yang luhur seperti orang Jawa. Itu sudah menjadi kepercayaan dan jalan hidupku)," kata Orlando Parmin Kromopawiro dalam teaser film etnografi ciptaan Agit Primaswara.
Pria berusia 53 tahun itu lebih dikenal dengan sapaan Hardjo Prayitno di kalangan komunitas Jawa di Belanda. Ia merupakan orang Jawa yang lahir di Suriname dan tinggal di Belanda.
Meski jauh dari "rumah", rasa penasaran dan kecintaannya terhadap budaya Jawa terus tumbuh.
"Sejak berusia 20 tahun, saya mulai tertarik dengan budaya Jawa dan warisannya. Saat hidup di Suriname, saya hampir tidak tahu bagaimana melestarikan identitas sebagai orang Jawa. Sejak hidup di Belanda, saya sangat tertarik untuk belajar tentang budaya Jawa. Di sisi lain, saya harus beradaptasi dengan masyarakat asli Belanda," ujar ayah dari tiga anak itu dalam buku Wong Jawa Ing Landa yang diterbitkan Dinas Kebudayaan D.I. Yogyakarta.
Selain bekerja di perusahaan Real Estate di Den Haag, Belanda, Hardjo juga tekun mempelajari dan melestarikan budaya Jawa. Ia mengajari orang bermain instrumen gamelan Jawa-Suriname, aktif dalam Asosiasi Tari Jawa Klasik dan Modern, hingga menjadi dalang di Belanda dan Suriname.
Baca juga: Fosil Jari 90.000 Tahun di Arab Saudi, Bukti Kehebatan Migrasi Manusia
Tentang diaspora Jawa
Hardjo Prayitno hanyalah satu dari sekian juta pelaku diaspora Jawa.
Diaspora sendiri diambil dari bahasa Yunani kuno yang artinya penyebaran untuk merujuk pada bangsa atau penduduk etnis manapun yang meninggalkan tanah air etnis tradisional mereka.
Fuji Riang Prastowo, dosen Sosiologi Universitas Gadjah Mada (UGM) yang juga pernah menimba ilmu di Belanda mengatakan, kelompok manusia yang disebut sebagai diaspora memiliki beberapa ciri khas, antara lain:
Pertama, mereka adalah keturunan dari leluhur yang hidup di luar tanah air etnis atau suku bangsanya. Misalnya orang Jawa yang tinggal di Kalimantan, mereka juga disebut diaspora.
Kedua, selama tinggal di luar tanah air leluhur mereka tetap melestarikan collective memory (ingatan komunal) akan tanah air yang terus diwariskan turun temurun.
"Misalkan transmigran Jawa yang ada di Lampung, mereka biasanya akan melaksanakan upacara adat, misalnya pernikahan, lebih panjang dibanding orang Jawa yang tinggal di Jawa," ujar Fuji dalam seminar Diaspora Jawa di Yogyakarta, Selasa (27/11/2018).
"Diaspora selalu bermain dengan time frame. Ketika mereka bermigrasi di tahun 1975, misalnya, kebudayaan Jawa yang mereka konsep adalah tahun itu. Walaupun mereka pulang lagi ke Jawa dan melihat ada pembaruan, mayoritas mereka akan 'ohya itu budayamu, budaya saya tetap ini'," imbuh Fuji.
Ketiga, pelaku diaspora percaya mereka tidak akan diterima sepenuhnya oleh masyarakat asli (host country).
Keempat, mereka percaya bahwa anggota masyarakat diaspora harus melestarikan kebudayaan tanah air leluhur dan terus membangun relasi dengan tanah air.