Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Rayhan Dudayev
peneliti

Peneliti Indonesian Center for Environmental Law (ICEL)

Gagap terhadap Bencana di Negara Kepulauan Terbesar di Dunia

Kompas.com - 19/11/2018, 19:05 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

SEBAGAI negara kepulauan terbesar di dunia, dengan kuantitas bencana cukup tinggi di Indonesia, banyak masyarakat yang tidak mengetahui antasipasi yang perlu dilakukan dalam menghadapi bencana, terutama di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.

Tulisan ini hadir berkat pengalaman "mencekam" ketika berada di Bali, tepatnya di timur Pulau Bali. Amed. nama dusun di mana saya tinggal pada saat itu, berbatasan dengan Selat Lombok.

Waktu menunjukkan pukul 19.00 (kurang lebih). Hari mulai gelap. Banyak penginapan di daerah tersebut juga mulai terlihat sepi.

Awal Agustus, pada malam itu, tanah berguncang hebat. Jalanan yang tadinya sepi kini dipenuhi manusia, terutama wisatawan mancanegara. Orang-orang panik. Turis asing yang baru saja check in penginapan kebingungan kemudian menangis keras. Orang-orang menjadi tidak rasional dan berhamburan.

"Gempa! Gempa!" "Earthquake! Earthquake! Try to find an open space!"

Beberapa orang berteriak seperti itu, reflek. Untuk pertama kalinya dalam hidup saya, saya merasakan guncangan yang begitu hebat. Terasa seperti mimpi.

Setelah guncangan keras reda, orang-orang mulai kembali tempatnya masing masing. Sampai adanya gempa susulan, orang-orang kembali berhamburan walaupun tidak seperti sebelumnya.

Namun, pada saat situasi tersebut, mereka berusaha meninggalkan Amed yang berbatasan langsung dengan selat. Mereka khawatir tsunami terjadi.

Pada saat itu, beberapa turis terlihat rasional untuk mencari tempat evakuasi apabila tsunami terjadi. Beberapa orang masih menangis karena khawatir hal buruk akan terjadi.

Masyarakat lokal memutuskan untuk berbondong-bondong pindah ke bukit dengan segala ketidakpastiaan mengenai apa yang terjadi berikutnya ketika gempa terus berlangsung sekitar 15 menit sekali.

Saya mulai mengecek internet pada saat itu. Televisi tidak ada, saya meminta ayah saya yang tinggal 500 km dari tempat saya berada, di Pulau Jawa, untuk mencari informasi melalui TV apa yang terjadi.

Dari dua usaha saya, terjawab gempa berasal dari Lombok Timur, bermagnitudp 6,4. Wow! Dalam hati saya, apa yang terjadi di sana apabila guncangan hebat terjadi di sini, 253 km dari pusat gempa?

Terjadi peringatan akan terjadi tsunami setinggi 50 cm, namun peringatan di level pertama. Terakhir, berita yang didapatkan yaitu akan terjadi gempa hebat kembali pukul 00.00, namun ternyata ada berita susulan yang menyatakan berita tersebut tidak benar.

Malam tersebut terasa begitu kelam. Terbayang seperti malam di negara yang sedang berperang, penuh dengan getaran. Tidak ada juga informasi valid mengenai apa yang terjadi. Tidak ada sistem komunikasi. Penuh kebingungan, sampai bapak tua yang tidak bisa berjalan harus jalan berseok-seok karena panik untuk kemudian ditolong warga.

Pada saat itu, saya memutuskan untuk terus berada di halaman tempat tinggal di mana saya dapat bergerak ke tempat terbuka apabila gempa hebat terjadi dan saya perlu mengevakuasi diri. Hingga saya memutuskan tidur sambil diiringi getaran gempa.

Halaman:



Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Terpopuler

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau