SEBAGAI negara kepulauan terbesar di dunia, dengan kuantitas bencana cukup tinggi di Indonesia, banyak masyarakat yang tidak mengetahui antasipasi yang perlu dilakukan dalam menghadapi bencana, terutama di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
Tulisan ini hadir berkat pengalaman "mencekam" ketika berada di Bali, tepatnya di timur Pulau Bali. Amed. nama dusun di mana saya tinggal pada saat itu, berbatasan dengan Selat Lombok.
Waktu menunjukkan pukul 19.00 (kurang lebih). Hari mulai gelap. Banyak penginapan di daerah tersebut juga mulai terlihat sepi.
Awal Agustus, pada malam itu, tanah berguncang hebat. Jalanan yang tadinya sepi kini dipenuhi manusia, terutama wisatawan mancanegara. Orang-orang panik. Turis asing yang baru saja check in penginapan kebingungan kemudian menangis keras. Orang-orang menjadi tidak rasional dan berhamburan.
"Gempa! Gempa!" "Earthquake! Earthquake! Try to find an open space!"
Beberapa orang berteriak seperti itu, reflek. Untuk pertama kalinya dalam hidup saya, saya merasakan guncangan yang begitu hebat. Terasa seperti mimpi.
Setelah guncangan keras reda, orang-orang mulai kembali tempatnya masing masing. Sampai adanya gempa susulan, orang-orang kembali berhamburan walaupun tidak seperti sebelumnya.
Namun, pada saat situasi tersebut, mereka berusaha meninggalkan Amed yang berbatasan langsung dengan selat. Mereka khawatir tsunami terjadi.
Pada saat itu, beberapa turis terlihat rasional untuk mencari tempat evakuasi apabila tsunami terjadi. Beberapa orang masih menangis karena khawatir hal buruk akan terjadi.
Masyarakat lokal memutuskan untuk berbondong-bondong pindah ke bukit dengan segala ketidakpastiaan mengenai apa yang terjadi berikutnya ketika gempa terus berlangsung sekitar 15 menit sekali.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanSegera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.