Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
The Conversation
Wartawan dan akademisi

Platform kolaborasi antara wartawan dan akademisi dalam menyebarluaskan analisis dan riset kepada khalayak luas.

Krisis Kredibilitas Sains, Banyak Penelitian Tak Dapat Dipercaya

Kompas.com - 20/10/2018, 11:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Oleh Rizky Amelia Zein

KOMPAS.com - Di luar masalah anggaran, dampak riset yang belum signifikan, dan buruknya pengelolaan data riset di Indonesia, keengganan peneliti menyediakan akses terbuka pada data dan material studinya juga membuat sains jalan di tempat.

Manipulasi metode statistik juga dapat menghasilkan temuan riset yang tidak kredibel. Manipulasi ini dapat disebabkan kecurangan peneliti atau adanya konflik kepentingan periset dengan sumber dana dari industri yang hanya mau dengan hasil positif untuk mendukung pemasaran produk.

Kegelisahan ini dirasakan oleh beberapa peneliti yang tergabung dalam gerakan sosial #OpenScience (Sains Terbuka).

Saya mengurai masalah tersebut dengan argumentasi yang terinsipirasi dari artikel legendaris yang ditulis oleh Profesor Biostatistik dari Stanford University John Ioannidis, “Why Most Research Findings are False.”

Krisis kredibilitas sains

Keengganan mengungkap prosedur penelitian menyebabkan krisis kredibilitas dalam sains. Contohnya, pada 2011, Daryl Bem, ahli parapsikologi dari Cornell University menerbitkan temuan penelitiannya yang sangat bombastis mengenai fenomena cenayang (precognition) di jurnal amat bergengsi, Journal of Personality and Social Psychology, terbitan American Psychological Association (APA).

Bem melakukan 9 eksperimen, 8 diantaranya signifikan (nilai p<0.05) membuktikan bahwa manusia punya kemampuan memprediksi masa depan.

Baca juga: Di Balik Tsunami Palu, Kontroversi Ahli Asing dan Pemerintah Mencuat

Peneliti lain yang penasaran mencoba melakukan replikasi atas penelitian Bem gagal mendapatkan hasil yang signifikan, tak seperti yang diklaim Bem, meskipun sudah mengikuti secara teliti prosedur yang Bem tulis dalam artikelnya. Entah apa yang Bem lakukan sampai mendapatkan hasil yang mencengangkan tersebut.

Kasus lainnya terkait dengan riset obat-obatan. Penelitian meta-analisis mengenai efektivitas obat Anti-Depresan bernama Fluoxetine (Prozac) menghasilkan kesimpulan bahwa efek Prozac cenderung plasebo, sehingga tak ada manfaatnya sama sekali. Padahal obat tersebut sangat laris–pada 2005 saja total penjualan Prozac mencapai US$22 miliar di seluruh dunia.

Sementara, penelitian meta-analisis yang sedang saya lakukan mengenai dukungan sosial dan kecenderungan depresi sampai sampai pada kesimpulan bahwa tidak adanya bukti yang meyakinkan bahwa keduanya berkaitan. Saya menganalisis 5450 naskah publikasi yang diterbitkan dalam kurun waktu 20 tahun terakhir (1998-2018) yang ditulis dalam bahasa Indonesia.

Hanya 13 artikel yang dapat dianalisis lebih lanjut. Ketiga belas artikel tersebut juga dianalisis kualitasnya dan sayangnya, semuanya rata-rata bermutu rendah.

Nilai p dan ‘angka keramat 0.05’

Bagi peneliti yang menggunakan pendekatan kuantitatif, pemakaian teknik statistik untuk menguji hipotesis adalah keniscayaan. Hipotesis penelitian, yaitu suatu asumsi yang menjelaskan sebuah fenomena, umumnya terdiri atas hipotesis nol (tidak ada efek) dan hipotesis alternatif (ada efek).

Paradigma ini berakar dari tradisi post-positivisme Popperian, di mana penelitian merupakan upaya untuk melakukan falsifikasi, membuktikan bahwa hipotesis nol salah. Biasanya, peneliti menggunakan nilai p (p-value) atau taraf signifikansi sebagai indikator untuk menolak atau menerima hipotesis.

Halaman:


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Terpopuler

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau