Memang, kebohongan berulang sering dikaitkan dengan gangguan kesehatan mental seperti kecenderungan antisosial, narsistik, dan psikopati. Namun, ada banyak kasus pembohong tidak menunjukkan gejala-gejala lainnya, sehingga tidak memenuhi kriteria diagnosis gangguan-gangguan tersebut.
Kebohongan tidak terbatas pada konteks interpersonal, karena dapat juga diproduksi oleh institusi sosial. Filsuf Marxis Italia Antonio Gramsci menyebut hegemoni sebagai narasi yang sengaja dibentuk oleh perangkat negara untuk mencengkeram nalar publik, agar tak digunakan untuk mengganggu kekuasaan.
Konsep ini lahir dari perenungan Gramsci ketika dia dipenjara rezim Benito Mussolini. Mulanya, ia gelisah melihat kelas pekerja di Italia yang pasrah, bahkan merayakan ketertindasan yang mereka alami. Kebohongan yang direproduksi oleh perangkat negara adalah yang paling meyakinkan, sekaligus yang paling berbahaya.
Studi Noam Chomsky dan Edward Herman pada konten pemberitaan media massa utamanya pada masa Perang Dingin, Perang Teluk dan setelah kejadian 9/11 menunjukkan bahwa media massa punya peran penting dalam membentuk persepsi publik–dengan narasi dan sudut pandang yang dibentuk dengan tujuan melindungi kepentingan elit.
Di era digital saat ini, produsen informasi bohong (hoax) tidak selalu menggunakan media massa arus utama sebagai saluran utama untuk mendistribusikan kebohongan, karena media sosial terbukti sebagai alat yang jauh lebih ampuh untuk mengamplifikasi penyebaran kabar bohong.
Betapa serius dan berbahayanya penyebaran kabar bohong. Persoalan ini ternyata bukan sekadar perkara terbatasnya kemampuan manusia mencerna dan memilah informasi, tapi menunjukkan adanya krisis moral yang terjadi dalam masyarakat kita.
Alat mencegah tipu daya: skeptisisme
Apakah orang berpendidikan tinggi lebih kritis terhadap kabar bohong? Kenyataannya, kita sering terheran-heran bahwa rekan kerja, tetangga atau keluarga dan kerabat kita yang berpendidikan tinggi percaya, bahkan membagikan kabar bohong dan teori konspirasi di akun media sosialnya.
Riset yang dilakukan Sam Wineburg dari Stanford University menunjukkan tidak ada kaitan antara kecerdasan dengan kemampuan mendeteksi berita bohong. Kemampuan seseorang berpikir analitis baru ampuh bekerja memfilter kabar bohong, ketika ditemani oleh nilai yang dihayati individu atas pentingnya bersikap skeptis dalam mencerna informasi.
Pendidikan dan inteligensi saja tak cukup menjadi filter, sehingga kita perlu menjadikan skeptisisme sebagai modal utama untuk menangkal hoaks di media sosial. Seperti yang nyatakan oleh filsuf Rasionalisme Prancis Rene Descartes bahwa “…keraguan adalah muasal datangnya kebijaksanaan”.
Rizqy Amelia Zein
Assistant lecturer in Social and Personality Psychology, Universitas Airlangga
Artikel ini ditayangkan berkat kerja sama Kompas.com dan The Conversation Indonesia dengan judul asli "Kasus Ratna Sarumpaet: mengapa lulusan universitas tetap rentan terperdaya kebohongan". Isi artikel di luar tanggung jawab Kompas.com.