Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Minim Alat Pendeteksi Tsunami, Ini 5 Langkah Penyelamatan Diri

Kompas.com - 02/10/2018, 12:32 WIB
Gloria Setyvani Putri

Editor


KOMPAS.com - Alat buoy pendeteksi tsunami diklaim Badan Nasional Penganggulangan Bencana (BNPB) tidak lagi berfungsi, membuat publik mempertanyakan tanggung jawab pemerintah dalam menjaga keselamatan warga.

"Sejak 2012, buoy tsunami sudah tidak ada yang beroperasi," kata Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB, Sutopo Purwo Nugroho, Minggu, 30 September 2018.

Buoy adalah pelampung suar dengan sensor untuk mengukur ketinggian permukaan air laut, dan memberikan informasi peringatan dini tsunami ke institusi terkait.

Baca juga: Tanpa Buoy, Seberapa Akurat Sistem Peringatan Dini Tsunami Kita?

Saat gempa 7.4 SR menimpa Palu, pada pukul 17.02 WIB, Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG), mengeluarkan peringatan dini tsunami. Tsunami disebut akan sampai pada pukul 17.22 WIB.

Namun, karena waktu terlewati, peringatan dini pun dicabut pada pukul 17.36 WIB. Beberapa menit setelah pencabutan ini, tsunami pun menerjang Palu dengan ketinggian sekitar 3 meter.

Dengan "tidak beroperasi"-nya alat pendeteksi tsunami dan melesetnya peringatan dini, lalu dengan apa lagi masyarakat tahu bahwa tsunami akan menerjang sehingga bisa menyelamatkan diri?

Dirangkum dari VOA Indonesia, ada sejumlah tanda yang ditunjukkan alam jelang terjadinya tsunami dan apa yang bisa dilakukan untuk menyelamatkan diri.

Gempa besar

Gempa bumi yang berpusat di bawah laut adalah salah satu penyebab utama tsunami.

Selain gempa bumi, menurut Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BPBD), tsunami bisa diakibatkan oleh runtuhan di dasar laut atau letusan gunung api di laut.

Jadi, jika kamu berada di sekitar pantai dan merasakan gempa besar atau lama (lebih dari satu menit), sebaiknya kamu bersiap dan langsung menyelamatkan diri.

Lalu gempa sebesar apa yang bisa mengakibatkan tsunami?

Pertanyaan ini sulit dijawab. Namun, berdasarkan data tsunami yang terjadi di berbagai penjuru dunia dalam dua dekade terakhir, tsunami diakibatkan gempa dengan kekuatan mulai dari 6,2 SR.

Gempa bumi 6,2 SR di Christchurch, Selandia Baru, 2011 lalu mengakibatkan tsunami setinggi 3,5 meter dan menewaskan total 185 orang.

Sementara, tsunami di Aceh pada 2004 yang menewaskan lebih 200 ribu jiwa di 12 negara, disulut gempa bumi dengan kekuatan sekitar 9,1 hingga 9,3 SR.

Dengan fakta bahwa Indonesia berada di wilayah Cincin Api (memiliki banyak gunung api dan merupakan titik pertemuan sejumlah lempeng bumi), kesiapsiagaan warganya atas ancaman gempa dan tsunami juga sangat diperlukan.

Air surut atau tidak?

Surutnya air laut adalah salah satu pertanda akan terjadinya tsunami, jika dasar perairan anjlok karena terjadinya gempa.

Setelah air tertarik ke laut, gelombang besar akan menerjang daratan membawa energi balasan.

Inilah yang terjadi saat gempa dan tsunami besar di Aceh dan Samudera Hindia pada 2004 lalu.

Kala itu, banyak orang justru mendatangi pantai untuk melihat fenomena janggal tersebut sembari menangkap ikan.

Menurut data SMS Tsunami Warning, jika air laut surut setelah gempa, maka warga yang tinggal di pesisir punya waktu sekitar 5-10 menit untuk menyelamatkan diri.

Meskipun begitu, kapan tsunami sampai di pantai juga bergantung kedalaman air dan di mana lokasi terjadinya gempa dan patahan.

Pada Gempa Aceh 2004 lalu yang berpusat 240 km di pantai barat Sumatera pada kedalaman 30km, tsunami setinggi lebih 10 meter sampai di daratan Aceh sekitar 30 menit setelah terjadinya gempa.

Meskipun begitu, tsunami tidak selalu didahului surutnya air laut.

Berdasarkan penelitian Pusat Riset Bencana Alam, Puslit Geoteknologi LIPI, 2012 lalu, pemodelan potensi gempa dan tsunami di perairan Padang, Sumatera Barat memperlihatkan, tsunami yang bisa saja terjadi di masa datang, "tidak didahului surutnya air laut".

“Hal ini disebabkan karena ketika gempa, hampir seluruh dasar perairan di barat Padang langsung terangkat, sehingga tsunami langsung terbentuk,” kata Koordinator Tim Penelitian Gempa LIPI saat itu, Danny Hilman Natawidjaja.

Dalam kata lain, surut atau tidaknya air laut jelang tsunami bergantung pada lempengan yang diguncang gempa, apakah naik atau turun.

Jadi, jika gempa besar terjadi, Anda tidak perlu mencari kabar soal surutnya air laut. Fokus selamatkan diri.

Gemuruh dari laut

Banyak saksi yang menyebut tsunami berbunyi seperti deru kereta api atau pesawat jet.

Dan ketika menerjang, tsunami tidak melulu hanya gelombang tunggal. Gelombangnya bisa datang berkali-kali, bahkan sampai lima kali.

Tsunami juga bisa bergerak dengan kecepatan hingga 970km/jam di laut terbuka. Ini sama cepatnya dengan kecepatan pesawat tempur.

Bahkan berdasarkan penelitian SMS Tsunami Warning, tsunami bisa melintasi seluruh samudera di bumi hanya dalam waktu beberapa jam saja.

Baca juga: 4 Fakta tentang Alat Deteksi Tsunami Buoy di Indonesia

Itulah sejumlah tanda-tanda alam menjelang dan ketika tsunami menerjang.

Lalu apa yang harus dan tidak boleh dilakukan untuk menyelamatkan diri, jelang, dan ketika terjadi tsunami?

Harus dilakukan: lari, diam, dan terus berlayar

Dalam Buku Saku Tanggap Tanggas Tangguh Menghadapi Bencana yang dikeluarkan BNPB, orang yang tinggal di pesisir pantai diminta untuk segera berlari ke tempat tinggi setelah gempa besar terjadi.

American Red Cross menyebut, idealnya warga berlari ke bukit atau tempat dengan ketinggian di atas 30 meter, sejauh 3km dari pinggir laut.

"Waktu golden time-nya adalah 10 sampai 30 menit setelah gempa, sangat sempit waktunya," kata Badan Metereologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG).

Oleh karena itu, kita yang tinggal di daerah pesisir harus paham lingkungan sekitar, tahu di mana bukit atau tempat tinggi terdekat yang bisa dicapai seandainya tsunami mengancam.

BNPB menyebut, jika tsunami benar menghantam, maka bertahanlah di daerah tinggi hingga beberapa jam ke depan.

"Karena gelombang tsunami yang kedua dan ketiga biasanya lebih besar dari gelombang pertama, serta dengarkan informasi dari pihak yang berwenang melalui radio atau alat komunikasi lainnya," tulis BNPB dalam buku tersebut.

Apabila Anda berada di kapal atau perahu yang tengah berlayar, upayakan untuk tetap berlayar dan menghindari wilayah pelabuhan, karena hantaman gelombang lebih membahayakan jika semakin dekat ke pantai.

Jangan dilakukan: ambil foto/video, berkendara, lintasi jembatan

Setelah gempa besar atau lama mengguncang, fokuslah menyelamatkan diri.

Meskipun berita soal gempa dan tsunami di berbagai wilayah dunia, penyebaran informasi awalnya cepat tersebar karena foto dan video yang diambil warga.

Dibanding sibuk merekam kejadian, lebih baik selamatkan diri dengan mencari tempat tinggi. Keselamatan diri jauh lebih penting dibandingkan momen yang ingin diabadikan menggunakan kamera

Anda juga tidak perlu melihat ke pinggir pantai untuk memastikan apakah air surut atau tidak, karena tsunami juga bisa datang tanpa dimulai dengan surutnya air laut.

BNPB lewat buku sakunya juga menyebut agar evakuasi diutamakan dengan berjalan kaki.

Baca juga: 5 Tsunami Paling Mematikan Abad Ini

"Jika terjadi kemacetan, segera kunci dan tinggalkan kendaraan." Terjebak di kemacetan bisa membuat keselamatan Anda terancam.

Selain itu, sebaiknya hindari berjalan melewati jembatan karena gempa susulan mungkin bisa terjadi, dan jika tsunami bergerak lebih cepat, akan lebih sulit juga menyelamatkan diri.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com