Demikianlah, BMKG memutuskan mengakhiri peringatan dini. Alasan utamanya adalah pada penyelamatan korban gempa.
Namun, menurut peneliti tsunami dari Kementerian Kelautan dan Perikanan Abdul Muhari, ada satu faktor yang lupa diperhitungkan: karakter lepas pantai Palu yang berupa teluk.
Kepada Kompas Minggu (30/9/2018), dia mengungkapkan, dengan karakteristik teluk, maka gelombang tsunami yang datang bisa diamplifikasi. Contohnya yang terjadi di Jayapura saat tsunami Jepang tahun 2011.
“Berdasarkan penelitian kami sebelumnya, saat tsunami kiriman Jepang tahun 2011, tinggi tsunami di mulut Teluk Jayapura hanya 60 cm, namun landaan tsunami di pesisir di dalam teluk menjadi 3,8 meter,” katanya.
Masalah pengakhiran peringatan dini ini merupakan pengulangan dari kasus gempa Mentawai tahun 2010. Tsunami baru diketahui sehari setelah kejadian gempa dan pengakhiran peringatan dininya.
Peneliti tsunami dari Badan Pengakjian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Widjo Kongko mengatakan, perhatian kini harus diarahkan pada upaya memperbaiki sistem peringatan dini.
Di Indonesia, alat yang membantu peringatan tsunami seperti buoy banyak yang hilang dan dicuri warga. Itu menjadi persoalan.
Dengan keterbatasan, kini tsunami Palu pun belum bisa diperkirakan tingginya. "Kami hanya menggunakan data kesaksian orang-orang dan manual," kata Rahmat.
"Manual itu dengan mengukur jejak tsunami yang ditinggalkan mulai dari jejak air di gedung, lalu sampah di pohon. Karena tsunami selalu meninggalkan jejak. Dari situ bisa diperkirakan ketinggiannya."
"Ke depannya kalau akan memasang tides gauge itu haknya BIG, yang jelas kondisinya hanya itu yang kami pakai."
Baca juga: Bagaimana Gempa dan Longsor Berduet Memicu Tsunami Palu? Ini Ceritanya
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.