Pengakhiran peringatan dini sejenak membuat lega tetapi berakhir dengan kebingungan karena diikuti dengan viralnya video tsunami Palu.
Sejumlah warganet mengungkapkan kebingungannya..
Kepala Pusat Gempa Bumi dan Tsunami Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika, Rahmat Triyono menuturkan bahwa pengakhiran peringatan dini sudah sesuai aturannya.
"Peringatan dini diakhiri ketika air yang masuk ke darat surut, bukan kita mengakhiri ketika air di laut surut," katanya dalam konferensi pers pada Jumat lalu.
Pengakhiran peringatan dini tsunami didasarkan pada hasil pengamatan dan pemodelan tsunami yang terjadi di Mamuju.
Setelah gempa bermagnitudo 7,4 pada Jumat pukul 17.02 WIB, tsunami yang terjadi di Mamuju diperkirakan hanya 0,5 meter.
Hasil pengamatan di Mamuju menunjukkan memang tidak ada tsunami besar. Ditambah lagi, mekanisme gempa sesar geser sehingga potensi terjadinya tsunami kecil.
"Kenapa kami mengakhiri? Karena data tides gauge (hasil pengamatan di lapangan) tidak signifikan. Hanya 6 cm," kata Rahmat.
"Selain itu kalau kelamaan nanti siapa yang melakukan pertolongan. Nanti kalau kami tidak segera mengakhiri tidak ada penyelamatan di sana karena masih rentang waktu warning," imbuhnya.
Tentang tsunami yang kemudian menghantam Palu, BMKG mengatakan bahwa gelombang datang pada saat masih dalam periode peringatan dini.
Meskipun demikian, BMKG mengakui bahwa tsunami tersebut luput dari perhitungan. Alasannya, tidak ada data yang dapat diandalkan dari Palu.
"Di Palu tidak alatnya, tidak ada tide gauge," tegas Rahmat ketika dihubungi oleh Kompas.com pada Minggu (30/9/2018).
"Tides gauge itu yang mengoperasionalkan itu Badan Informasi Geospasial. Untuk mengakhiri warning SOP-nya memang salah satunya ada data observasi dari tides gauge yang diberikan oleh BIG."
Demikianlah, BMKG memutuskan mengakhiri peringatan dini. Alasan utamanya adalah pada penyelamatan korban gempa.
Namun, menurut peneliti tsunami dari Kementerian Kelautan dan Perikanan Abdul Muhari, ada satu faktor yang lupa diperhitungkan: karakter lepas pantai Palu yang berupa teluk.
Kepada Kompas Minggu (30/9/2018), dia mengungkapkan, dengan karakteristik teluk, maka gelombang tsunami yang datang bisa diamplifikasi. Contohnya yang terjadi di Jayapura saat tsunami Jepang tahun 2011.
“Berdasarkan penelitian kami sebelumnya, saat tsunami kiriman Jepang tahun 2011, tinggi tsunami di mulut Teluk Jayapura hanya 60 cm, namun landaan tsunami di pesisir di dalam teluk menjadi 3,8 meter,” katanya.
Masalah pengakhiran peringatan dini ini merupakan pengulangan dari kasus gempa Mentawai tahun 2010. Tsunami baru diketahui sehari setelah kejadian gempa dan pengakhiran peringatan dininya.
Peneliti tsunami dari Badan Pengakjian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Widjo Kongko mengatakan, perhatian kini harus diarahkan pada upaya memperbaiki sistem peringatan dini.
Di Indonesia, alat yang membantu peringatan tsunami seperti buoy banyak yang hilang dan dicuri warga. Itu menjadi persoalan.
Dengan keterbatasan, kini tsunami Palu pun belum bisa diperkirakan tingginya. "Kami hanya menggunakan data kesaksian orang-orang dan manual," kata Rahmat.
"Manual itu dengan mengukur jejak tsunami yang ditinggalkan mulai dari jejak air di gedung, lalu sampah di pohon. Karena tsunami selalu meninggalkan jejak. Dari situ bisa diperkirakan ketinggiannya."
"Ke depannya kalau akan memasang tides gauge itu haknya BIG, yang jelas kondisinya hanya itu yang kami pakai."
https://sains.kompas.com/read/2018/09/30/160350823/terungkap-yang-sebenarnya-ini-alasan-bmkg-akhiri-peringatan-tsunami