Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Bukan Masa Depan, Perubahan Iklim Telah Ancam Tibet Sejak Sekarang

Kompas.com - 19/09/2018, 18:02 WIB
Resa Eka Ayu Sartika

Editor

KOMPAS.com - Perubahan iklim sering dibicarakan sebagai masalah yang masa depan. Tapi, di "atap dunia" masalah ini telah terjadi.

Kawasan yang terpencil dan dingin dengan julukan atap dunia itu adalah Dataran Tinggi Tibet. Sebuah wilayah dataran tertinggi dan terbesar di planet ini yang meliputi 25 persen daratan China.

Wilayah ini memainkan peran penting karena berisi pasokan air tawar terbesar di luar wilayah kutub. Bahkan, tempat tersebut telah melahirkan beberapa sungai paling legendaris di Asia.

Mulai dari Sungai Mekong dan Sungai Gangga sampai Sungai Yangtze dan Sungai Kuning. Hal itu menunjukkan bahwa dataran tinggi ini telah memelihara peradaban dan tempat bergantung bagi sekitar 1 miliar orang.

Namun, garis hidup itu kini terancam.

Dalam Bahaya

Perubahan iklim telah menyebabkan suhu naik di dataran tinggi lebih cepat daripada di tempat lain di Asia. Akibatnya, gletser dan padang rumput di kawasan itu mencair pada tingkat yang mengkhawatirkan.

Pada konferensi Asia Society tahun 2009, seorang ilmuwan juga memprediksi jika pencairan berlanjut maka dua pertiga gletser dataran tinggi itu akan hilang pada 2050.

Menurut Tsechu Dolma, pendiri Mountain Resiliency Project, hal itu akan berdampak besar bagi dunia.

"(Sekitar) 1,4 miliar orang dari 7 miliar populasi manusia sebenarnya bergantung pada air yang berasal dari Tibet," katanya.

"(Air) membawa banyak endapan lumpur dari dataran tinggi di hilir. Lumpur ini diperlukan untuk sawah di Asia Tenggara ... makanan yang ditanam memberi makan seluruh dunia," imbuhnya.

Baca juga: Sekjen PBB Serukan Upaya Penanganan Perubahan Iklim

Ribuan Danau Mengering

Gurun sekarang mencakup seperenam dataran tinggi Tibet. Apalagi tempat-tempat yang pernah bermekaran kini telah berkurang dan menjadi bukit pasir.

Dolma menyebut, orang yang paling rentan terkena dampaknya adalah petani tradisional dan penggembala yang mata pencahariannya bergantung pada tanah.

"Mayoritas warga yang tinggal di Tibet terus hidup sebagai penggembala dan petani, dan bagi banyak dari mereka mata pencahariannya menjadi sangat sulit dengan perubahan iklim," katanya.

Dolma mencontohkan orang yang paling merasakan dampaknya adalah perempuan dan juga peternak.

"Perempuan yang mengumpulkan air dan kayu bakar untuk memasak dan makan harus melakukan perjalanan lebih jauh dari rumah mereka, dan banyak anak muda dan gembala harus melakukan perjalanan lebih jauh dengan ternak mereka untuk merumput," ujar Dolma.

"(Peternak) pasti menyadari betapa sulitnya mereka mendapatkan makanan, bagaimana iklimnya tidak dapat diprediksi, betapa tidak dapat diprediksi sumber airnya," sambungnya.

Peningkatan pasokan air juga disebutkan telah menyebabkan peningkatan banjir dan bencana alam di daerah tersebut. Penduduk setempat kini beralih kepada dewa-dewa untuk mendapatkan jawaban.

"Banyak orang mencoba menggunakan epistemologi Buddhis untuk memahami apa yang terjadi di sekitar kita," kata Dolma.

"Mereka mengerti itu karena fakta bahwa kita manusia, telah melakukan hal-hal merusak lingkungan dan untuk membuat marah roh yang tinggal di daratan. Karena gangguan ini, semua tragedi ini terjadi dalam bentuk banjir dan kebakaran," tambahnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau