KOMPAS.com – Pada saat ini, klaim “BPA-free” atau bebas BPA sering kali ditemukan pada wadah makanan plastik yang dijual di pasaran.
Namun menurut studi awal yang dilakukan pada tikus dan dipublikasikan di Current Biology, plastik bebas BPA belum tentu aman untuk kesehatan.
Perlu Anda ketahui, Bisphenol A atau BPA adalah bahan kimia yang sering kali digunakan untuk membuat plastik polikarbonat dan resin epoksi. Ketika plastik yang mengandung BPA rusak, BPA bisa mengontaminasi makanan kita.
BPA yang masuk ke dalam tubuh kemudian bisa mengganggu sistem endokrin yang mengatur bagaimana hormon mempengaruhi fertilitas hingga perkembangan otak. BPA juga diduga sebagai penyebab kelainan kelamin pada pria, pubertas awal pada wanita, dan bahkan kelainan metabolik, serta beberapa jenis kanker.
Baca juga: Studi Baru: Sampah Plastik Kontaminasi Penyu Sejak Menetas
Sebagai alternatif, perusahaan-perusahaan pembuat wadah plastik mengganti BPA dengan bahan-bahan lain, seperti BPS.
Namun, para peneliti yang dulu menemukan dampak negatif dari BPA kembali menemukan hal serupa pada plastik berbahan BPS.
Jika 20 tahun lalu para peneliti menemukan bahwa tikus betina yang disimpan dalam wadah plastik rusak dan minum dari botol plastik rusak menghasilkan lebih banyak telur yang tidak sehat; kali ini mereka menemukan bahwa baik tikus jantan dan tikus betina yang disimpan dalam sarang rusak berbahan polisulfon mengalami masalah reproduktif.
“Ini jelas ada rasa ‘Oh tidak, masa ini lagi?’,” ujar penulis studi dan peneliti di Center for Reproductive Biology Washington State University, Patricia Hunt.
Hunt dan koleganya mempelajari bahan putih yang keluar dari sarang rusak. Mereka menemukan BPA dan BPS.
Polisulfon yang selama ini dikira tidak akan terdegradasi menjadi BPS ditemukan bisa membentuk BPS bila ada ikatan kimia tertentu yang rusak.
Baca juga: Studi Ungkap Plastik Turut Sebabkan Perubahan Iklim
Menindaklanjuti temuan ini, Hunt dan kolega mencoba untuk membandingkan tikus yang terpapar oleh BPS dosis rendah dengan tikus yang terpapar BPA dosis rendah dan tikus yang tidak terpapar oleh kontaminasi BPA maupun BPS.
Hasilnya, tikus yang terpapar BPS mengalami lebih banyak kerusakan pada sel telur dan sperma dibandingkan dengan tikus kontrol. Lalu, tingkat kerusakannya sama dengan tikus yang terpapar oleh BPA. Efek ini bahkan bertahan hingga tiga generasi sebelum mulai memudar.
Menanggapi hal tersebut, Hunt mengajak para peneliti untuk melakukan lebih banyak studi pada berbagai bahan alternatif BPA.
Sementara itu, Oliver Jones dari RMIT University di Melbourne, Australia mengungkapkan kritikannya akan studi yang dilakukan oleh Hunt. “Jumlah hewan yang digunakan dalam studi sangat sedikit dan mereka dikawinkan satu sama lain,” katanya.
Dia melanjutkan, harus diingat pula bahwa tikus bukanlah manusia mini. Beberapa bahan kimia yang menyebabkan gangguan pada mereka tidak mempengaruhi kita sama sekali.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.