KOMPAS.com - Seperti yang kita ketahui, bencana alam yang mematikan sudah terjadi sebelum manusia dapat mencatatnya dalam sejarah. Namun anehnya, sangat sedikit situs pemakaman massal yang dikaitkan dengan bahaya iklim dan tektonik, seperti topan, gempa bumi, dan tsunami.
Beberapa temuan pemakaman massal prasejarah, khususnya di pesisir pantai, seringkali dikaitkan dengan akibat dari peperangan dan wabah penyakit.
Namun saat ini, dilansir dari Science Alert, sebuah penelitian baru tentang situs pemakaman di pesisir telah membuka jendela ke dalam sejarah manusia dan tsunami yang telah lama dilupakan.
"Tsunami tidak pernah dianggap sebagai alasan atas situs pemakaman sebelumnya. Hal ini menjelaskan mengapa tidak ada pemakaman massal di pantai prasejarah yang diidentifikasi dalam catatan arkeologi sebagai akibat dari tsunami," kata James Goff, pakar bencana alam di UNSW, Pusat Penelitian PANGEA.
Baca juga: Para Peneliti Temukan Sisa Korban Tsunami 6.000 Tahun Lalu
“Membuktikan bahwa sebuah situs terkait dengan tsunami lampau dapat memandu kita untuk menulis ulang dasar pemikiran tentang bagaimana kita menginterpretasikan pemukiman manusia prasejarah di pesisir pantai, dan mengubah apa yang kita ketahui tentang budaya manusia yang tinggal di daerah tersebut. Bisa juga memiliki implikasi tentang bagaimana para arkeolog menganalisis sebuah situs,” tambahnya
Dalam penelitian yang dipublikasikan di Journal of Archaeological Method and Theory ini, para ilmuwan berfokus pada situs pemakaman di pesisir Kepulauan Vanuatu dan Solomon di Pasifik Selatan, utara Orkney, dan Shetland di Skotlandia yang sebelumnya dianggap sebagai korban peperangan dan wabah penyakit.
Menilik pada catatan geologi, ditemukan adanya kecocokan antara usia pemakaman (antara 500 hingga 5.000 tahun) dengan waktu bencana alam tsunami yang terjadi di daerah yang sama.
"Melihat bukti dari situs pemakaman dan mempertimbangkan potensi tsunami, kami dapat membuat argumen yang kuat untuk situs-situs ini dan kaitannya dengan tsunami besar, dibandingkan dengan penjelasan yang lebih standar seperti peperangan atau epidemik," kata Goff.
Baca juga: 10 Tahun Tsunami Pangandaran, Tsunami Dahsyat Tanpa Isyarat Gempa
Tidak seperti bencana alam lainnya, interval terjadinya satu tsunami besar dan yang berikutnya berjarak sangat jauh daripada usia manusia yang tinggal di daerah pesisir. Hal ini menyebabkan manusia yang tinggal di daerah tersebut jarang memperhitungkan akan bencana tsunami.
Dan, karena tsunami terkenal sulit diprediksi, korban jiwa akibat tsunami sangat tinggi dan mengharuskan mereka menguburkan korban dengan segera di dekat pantai. Bahkan terkadang ikan dan hewan yang tewas dalam tsunami ikut dikubur di samping korban manusia.
“Contohnya, di Kepulauan Solomon, metode penguburan dan usia manusia yang dikubur sejalan dengan apa yang kita harapkan setelah tsunami yaitu orang-orang dikubur dalam posisi yang tidak biasa,” kata Goff.
Meskipun penyebab kematian di situs pemakaman massal dapat bervariasi, Goff menjelaskan bahwa mereka yang menjadi korban tsunami biasanya mengalami asphyxiation (sedimen pantai masuk ke paru-paru), tenggelam, luka tumbukan, dan infeksi luka.
Namun demikian tidak semua pemakaman massal yang ditemukan di pesisir disebabkan oleh tsunami. Penelitian ini mengisi kekosongan dalam catatan sejarah yang sering diabaikan karena minimnya bukti.
"Dalam hubungannya dengan bukti geologis, penelitian arkeologi kami mengakui bahwa apa yang telah terjadi saat ini pasti telah terjadi di masa lalu. Analisis ini diharapkan menjadi yang diutamakan dalam pikiran para peneliti ketika menggali pemakaman massal pesisir," kata Goff.
Pemimpin penelitian ini, Genevieve Cain dari Universitas Oxford, mengatakan bahwa pada saat ini dia telah menemukan bukti geologis dan arkeologis untuk kematian terkait tsunami. Selanjutnya, dia akan fokus untuk menemukan bukti kuat pada tulang korban.
"Ada cara yang cukup sederhana di sini. Ketika orang meninggal dalam tsunami, mereka menghirup air asin yang mengandung mikroorganisme kecil yang disebut diatom, yang berarti mereka mati lemas dan kemudian tenggelam," jelas Cain.
"Diatom ini berjalan melalui aliran darah, disimpan dan diawetkan di dalam sumsum tulang besar. Jika kita dapat menemukan diatom, ini mungkin menunjukkan bahwa tubuh adalah korban tsunami," pungkasnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.