Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ini Alasan Astronot Eropa Harus Bisa Bahasa Mandarin

Kompas.com - 23/07/2018, 11:33 WIB
Resa Eka Ayu Sartika

Editor

KOMPAS.com - Matthias Maurer tidak pernah menyangka bahwa dalam perjalanan karirnya dia harus ikut pelatihan bertahan hidup di laut dengan astronot China.

"Menarik dan santai," ujar astronot Badan Ruang Angkasa Eropa Jerman (ESA) ini.

"Saya mengambang di sana di rakit kehidupan, melihat ke langit - saya hanya butuh musik dan itu membuat saya seperti sedang liburan di Hawaii," sambungnya.

Latihan itu berlangsung tahun lalu di pusat pelatihan yang baru dibangun di dekat kota pesisir Yantai, sekitar satu jam penerbangan ke sebelah tenggara Beijing.

Berlatih Bersama

Selama dua minggu, Maurer dan para astronot ESA lain, Samantha Cristoforetti, tinggal dan bekerja bersama rekan-rekan China mereka.

"Kami berlatih bersama, tinggal di gedung yang sama dengan astronot China, berbagi makanan yang sama dan itu adalah pengalaman yang cukup intens," kata Maurer.

"Rasanya seperti menjadi bagian dari keluarga - itu benar-benar berbeda dengan berada di Houston, di mana saya menyewa apartemen dan melihat rekan-rekan saya hanya selama sesi pelatihan dua atau tiga jam," kenangnya.

Sementara badan antariksa lain menjalankan latihan pembentukan tim khusus untuk membantu para astronot bekerja bersama, orang China telah mengadopsi pendekatan yang lebih mendasar.

"Para astronot China bahkan menghabiskan liburan mereka bersama, mereka saling mengenal dengan baik sehingga mereka seperti saudara," kata Maurer.

"Ketika kami tinggal di sana kami merasa diterima dengan sangat hangat ke dalam keluarga mereka," imbuhnya.

Baca juga: Bukan untuk Lelucon, Ini Alasan NASA Rekam Jatuhnya Astronot di Bulan

Pesawat Ruang Angkasa

Pesawat ruang angkasa China, Shenzhou, yang rencananya pertama kali membawa astronot ke orbit pada tahun 2003, dirancang untuk tiga awak.

Pesawat ruang angkasa ini didasarkan pada teknologi pesawat ruang angkasa Soyuz buatan Rusia dan terlihat sangat mirip.
Namun, Soyuz telah mengudara selama 50 tahun. Sedangkan Shenzhou baru dibuat pada abad ke-21.

"Saya terkejut dengan dimensi," kata Maurer.

"Ini memiliki diameter yang lebih besar daripada kapsul Soyuz dan jauh lebih tinggi - mereka telah melihat dengan baik perangkat keras Rusia, mereka telah belajar apa bagian yang baik dan melihat apa yang bisa mereka tingkatkan," jelasnya.

Jika kapsul ruang angkasa itu jatuh ke laut misalnya, desain Shenzhou membuat seluruh pengalaman ruang ganti baju untuk pakaian survival sebelum memanjat keluar dari kapsul jauh lebih mudah.

"Ada begitu banyak ruang, kami bahkan memiliki perahu karet tiup, yang tidak kami miliki di Soyuz," katanya.

"Dengan pelatihan survival laut Rusia, Anda melompat ke dalam air, tidak ada perahu - dan anda akan merasa sangat dingin dan jauh, jauh lebih sulit."

Maurer baru-baru ini memenuhi syarat sebagai astronot tetapi, dalam peran sebelumnya di Pusat Astronot Eropa di Cologne, Jerman, mulai mengembangkan hubungan dengan program ruang angkasa China yang pernah dirahasiakan pada tahun 2012.

Dia mengunjungi pusat pelatihan mereka di Beijing setahun kemudian untuk melihat fasilitas dan simulator mereka.

Pada tahun 2016, seorang astronot China mengambil bagian dalam salah satu ekspedisi susur gua yang digelar oleh ESA.

Bersama Cristoforetti dan astronot Prancis Thomas Pesquet, Maurer juga belajar bahasa Mandarin.

"Ini bagus tapi butuh perbaikan," akunya.

Baca juga: Demi Urusan Perut Astronot, Thailand Akan Kirim Durian ke Antariksa

Meskipun, dia memberi tahu saya, namanya dalam bahasa Mandarin diterjemahkan sebagai "Kuda Surga".

Kesadaran Antar-Budaya

Amerika Serikat tidak akan menyetujui kerjasama dengan China dalam masalah ruang angkasa - bahkan di Stasiun Ruang Angkasa Internasional (ISS).

Meski begitu, ESA tetap membuka kesempatan itu supaya astronotnya bisa mengorbit.

Dengan China di jalur untuk meluncurkan stasiun luar angkasa berukuran penuh pertama pada tahun 2023, dan dengan misi robotik negara itu diluncurkan akhir tahun ini ke sisi terjauh dari bulan, keputusan ESA untuk mempertahankan hubungan dengan Amerika dan Rusia namun juga bermitra dengan kekuatan baru yang muncul akan terlihat bergerak cerdik.

"ESA merupakan kerja sama 23 negara anggota, jadi kami tahu apa yang diperlukan untuk menyatukan para mitra," kata Maurer.

"Kami berbicara banyak bahasa, kami memiliki kesadaran antar-budaya dan kami adalah perekat yang sempurna untuk membawa China ke dalam ruang keluarga internasional yang besar ini," tegasnya.

Baru-baru ini China menandatangani perjanjian dengan Kantor Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Urusan Ruang Angkasa untuk membuka stasiun ruang angkasa baru bagi penelitian internasional.

Ini juga bisa diperluas pada peluncuran astronot, dengan cara yang mirip dengan program Soviet Intercosmos tahun 1970-an dan 80-an, yang melihat astronot dari negara-negara sekutu - termasuk Mongolia, Kuba, Afghanistan dan Suriah - terbang ke stasiun ruang angkasa Rusia.

"Kesan saya adalah bahwa setiap negara di dunia yang ingin meluncurkan astronotnya, dapat menghubungi China melalui PBB dan berpotensi pergi ke ruang angkasa," kata Maurer.

"Bukan hanya orang Eropa, tetapi negara-negara berkembang yang mungkin tidak memiliki program astronot saat ini," ujarnya.

Baca juga: Astronot NASA Ungkap Kengerian Toilet di Stasiun Luar Angkasa

Misi Co-Pilot

Eropa berada di garda terdepan dalam permainan ini dan, dalam beberapa bulan mendatang, astronot ESA akan memulai pelatihan di kapsul China. Mereka berharap salah satu di antara anggota ESA bisa mendapat posisi co-pilot pada misi masa depan.

"Di Soyuz, kursi kiri adalah co-pilot, jadi kami pergi ke China dan mengatakan kami perlu bernegosiasi keras untuk memastikan kami mendapatkan kursi sebelah kiri itu," jelas Maurer.

"Dan mereka berkata 'oh, oke, tidak masalah' ... dan kami pikir itu terlalu mudah ... sampai kami menyadari [di Shenzhou] kursi sebelah kanan adalah co-pilot," tambahnya.

Maurer berharap akan membuat penerbangan ruang angkasa pertamanya ke ISS pada 2020.
Setelah itu ia akan diposisikan dengan baik untuk menjadi salah satu astronot asing pertama yang terbang bersama Taikonauts ke stasiun China pada sekitar 2023.

Sebagian karena kebijakan diplomatik pemerintahan AS saat ini, NASA tidak mungkin mulai bekerja sama secara terbuka dengan program luar angkasa China dalam waktu dekat.

Dalam jangka panjang, bagaimanapun, dengan Amerika dan China sama-sama punya misi menjelajah pertanyaannya ruang angkasa, maka kesempatan keduanya bekerja sama mungkin terjadi.

"Begitu kita melihat melampaui orbit Bumi ke Bulan atau Mars, kita membutuhkan semua mitra yang dapat kita temukan di planet ini karena semakin sulit, lebih mahal dan kita membutuhkan teknologi terbaik," kata Maurer.

"Kami bertujuan untuk membawa China ke dalam keluarga dan stasiun penelitian bulan depan - semakin banyak yang kita miliki dalam keluarga, kita akan jadi semakin baik," sambungnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com