GORONTALO, KOMPAS.com - Bagi warga kota, pesaing air susu ibu (ASI) adalah susu formula. Namun di desa Gorontalo, ASI harus bersaing bahkan air gula!
Kisah yang mungkin membuat warga kota besar terheran-teran itu nyata, diceritakan oleh Rinaldi Daulay yang selama hampir dua tahun belakangan bertugas di Puskesmas Asparaga, Gorontalo.
Menangani ibu hamil dan menyusui, Rinaldi punya satu target: mempromosikan pemberian ASI ekslusif pada bayi. Tak selama 1-2 tahun seperti yang digaungkan sebenarnya, tetapi 6 bulan dahulu.
Namun, perjuangan mempromosikan kesehatan bayi itu sulit karena masih kuatnya kecepercayaan warga dan citra buruk ASI.
"Di daerah saya bertugas, bayi hanya diberi madu dan malah air gula," katanya saat ditemui Kompas.com dalam kunjungan media bersama Kementerian Kesehatan di Saung Germas Iloponu, Kecamatan Tibawa, Gorontalo.
"Kita juga kenal tetes ASI pertama atau kolustrum yang sangat bermanfaat. Tapi oleh masyarakat, itu malah dianggap racun," imbuhnya.
Rinaldi memananfaatkan kesempatan-kesempatan kecil yang ada, salah satunya ketika diminta memmberi nama pada salah satu bayi yang lahir di puskesmas.
Setelah memberi nama, Rinaldi diminta meminumkan air gula pada jabang bayi. Ia berpura-pura meneteskan air gula sambil menerangkan soal ASI.
Sang ibu kemudian bersedia memberikan ASI pada bayi meski belum eksklusif selama 6 bulan seperti yang jadi targetnya.
"Masih sulit untuk mengajak memberi ASI eksklusif. Ada ibu-ibu yang sudah mau memberi ASI, tapi dalam 6 bulan pasti diselingi air gula dan madu," terangnya.
Baca juga: Penemuan yang Mengubah Dunia: Pompa ASI, agar Ibu Bekerja Bisa Menyusui
Puskesmas tempat Rinaldi berkarya melayani 10 desa. Ada 4 desa yang digolongkan tersulit lantaran medan dan karakter penduduknya.
Meski sudah berkorban naik motor mengarungi jalanan terjal dan kadang harus berjalan kaki selama 2 jam, menyadarkan masyarakat tentang pentingnya ASI tak semudah membalikkan telapak tangan.
Cuma Salah Satu Masalah
ASI cuma salah satu masalah di Gorontalo. Di sekitar puskesmasnya, Rinaldi melihat pernikahan dini masih umum. "Banyak perempuan dinikahkan saat usianya masih 15 tahun," ujarnya.
Dia dan timnya berusaha menggagas gerakan "Resepin", Remaja Sehat dan Pintar. Lewat program itu, dia menjelaskan soal kesehatan reproduksi, kehamilan, serta penyakit seperti HIV/AIDS.