KOMPAS.com - Mana yang lebih baik bagi seorang kiper? Melompat ke arah kiri, kanan atau hanya tetap di tengah gawang saat adu penalti. Menurut ahli, tetap di tengah mungkin adalah pilihan yang lebih baik.
Hal tersebut bukan tanpa alasan. Dilansir dari The Guardian, Rabu (11/7/2018), dalam drama adu penalti ternyata 39,2 persen arah tendangan penalti ke arah tengah, 32,1 persen ke arah kiri dan 28,7 persen ke arah kanan.
Sementara itu, sebagian besar kiper cenderung melompat ke arah kiri (49,3 persen) atau kanan (44,4 persen) daripada tetap diam di tengah (6,3 persen). Keputusan tersebut juga dilakukan oleh kiper yang sudah berpengalaman.
Michael Bar-Eli, seorang ahli psikolog bidang olah raga di Universitas Ben-Gurion dan Zinman College, menjelaskan, keputusan kiper untuk melompat adalah tindakan bias.
Baca Juga: Keluar dari Goa Thailand, Tim Sepak Bola Remaja Harus Dikarantina
Tindakan bias adalah kecenderungan untuk mengambil keputusan ketika sebetulnya tidak melakukannya justru lebih baik. Salah satu alasan munculnya tindakan tersebut adalah untuk menghindari rasa menyesal.
Bisa Anda bayangkan tekanan mental yang dihadapi seorang kiper ketika menghadapi tendangan penalti di hadapan ribuan suporter yang berharap dirinya dapat menahan bola.
Namun, banyak penjaga gawang yang tidak menyadari bahwa ketika mereka gagal menahan tendangan penalti, para suporter menganggapnya sebagai ketidakberuntungan saja.
Dalam sebuah penelitian oleh tim psikolog di Belanda, terungkap jika seseorang mendapatkan serentetan hasil negatif dalam sebuah tugas, maka mereka akan lebih cenderung melakukan sesuatu daripada tidak melakukan apa-apa.
Saat diminta memberikan alasannya, sebagian besar jawaban peserta adalah untuk menghindari rasa menyesal karena dianggap tidak berusaha.
Namun, diam tidak melakukan apa-apa bukan berarti hanya diam seperti patung.
Menurut Ander Spicer, seorang ahli perilaku organisasional di Cass Business School di London, keputusan yang tepat biasanya didahului dengan diam sementara waktu untuk melakukan evaluasi.
Spicer mencontohkan, seorang petenis profesional akan mengulur waktu agak lama agar bisa berpikir dan menentukan arah bola saat mengeluarkan pukulan terbaiknya.
Baca Juga: Pakai Bola Kristal dari Pasar Loak, Astronom Potret Rupa Bima Sakti
Dalam tulisannya yang dimuat di The Guardian, Rabu (11/7/2018), Spicer menjelaskan, ketika seorang kiper berhadapan dengan penendang saat adu penalti, alangkah lebih baik untuk diam dan menganalisis segala kemungkinan, termasuk kecenderungan arah bola si penendang ketika drama adu penalti.
Sementara itu, tindakan bias ini sebetulnya sering kita temui dalam kehidupan sehari-hari.
Misalnya ketika seorang pemilik klub sepak bola memilih untuk memecat manajernya, meskipun sebetulnya mempertahankannya akan lebih baik. Hal ini pernah diungkapkan dalam jurnal Leadership.
Lalu, penelitian di jurnal Econometrica juga mengungkapkan bahwa orang yang berdagang saham lebih suka melakukan perdagangan yang tidak menguntungkan daripada tidak melakukan apa-apa.
Lebih lokal dan mungkin dilakukan oleh Anda juga, seorang karyawan lebih memilih keluar jalan-jalan agar terlihat sibuk daripada diam di kantor, meskipun kedua tindakan itu sama-sama tidak menghasilkan apa-apa.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.