Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Apa itu "Lavanado", Fenomena Langka yang Terjadi Saat Kilauea Meletus?

Kompas.com - 10/07/2018, 18:34 WIB
Michael Hangga Wismabrata,
Shierine Wangsa Wibawa

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Awal bulan Juni 2018, gunung berapi Kilauea di Hawaii meletus dengan hebatnya. Para ahli berhasil merekam tornado vulkanik di atas lava yang mengalir di retakan-retakan sekitar lereng gunung.

Sebetulnya, aliran lava di zona keretakan hiperaktif yang ada di sisi-sisi kawah gunung pertama dilaporkan oleh Anthony Quintano, seorang jurnalis di situs berita Honolulu Civil Beat. Foto yang diambil oleh Quintano menggambarkan bahwa tornado vulkanik bukan isapan jempol. 

Di samping Quintano, para ahli dari United States Geological Survey (USGS) juga berhasil merekam fenomena tersebut dalam bentuk video sehingga kita bisa melihat kehebatan sekaligus kengerian tornado vulkanik tersebut. 

Baca Juga: Seperti di Kawah Ijen, Api Biru Juga Muncul di Gunung Kilauea Hawaii

Bagi para ilmuwan, tornado vulkanik tidak sekadar indah secara estetis, namun juga sangat menarik untuk dipelajari. Pasalnya, tornado lava ini berbeda dengan tornado konvensional yang sering kita temui.

"Kami sering melihat tornado angin dalam kondisi tertentu. Misalnya, saat kebakaran hutan yang hebat di bagian barat benua Amerika Serikat, ini dapat menciptakan gumpalan asap raksasa yang besar disertai aliran udara yang kuat, dan petir," kata Robert Ballard, seorang ilmuwan sains di National Weather Service kepada IFLScience, Selasa (3/7/2018).

Sementara itu, tornado vulkanik ini terbentuk akibat panas lava dari gunung berapi yang mengalir di tanah awhingg tekanan udara menguat. Akibatnya, udara yang keluar dari permukaan tanah akan berputar disertai percikan-perikan api dari aliran lava.

“Kami pikir proses terjadinya tornado angin juga terjadi di Kilauea, meskipun dengan skala yang lebih kecil dan lebih lemah,” tambah Ballard.

Banyak orang menyebut fenomena yang terjadi di Kilauea sebagai "Lavanado", gabungan dari lava dan tornado. Namun, USGS rupanya lebih konvensional dalam menamainya.

"Kami banyak berdiskusi tentang bagaimana harus memanggil mereka, dan nama ilmiah yang tepat adalah 'angin puyuh'," kata Dr Wendy Stovall, seorang ahli gunung berapi senior dari USGS, seperti dilansir dari IFLScience, Selasa (3/7/2018).

“Di lapangan, ahli geologi ternyata sering menyebut mereka 'Lavanado'. Meskipun secara teknis tidak tepat, tetapi sepertinya memang cocok,” tambahnya.

Pengamatan Lavanado

Sebelum kejadian ini, lavanado ini ternyata sudah lama diamati dalam setiap letusan gunung berapi.

Namun, fenomena tersebut tidak terjadi di atas lava pahoehoe, jenis lava yang lebih halus dan tidak putus seperti yang disemburkan oleh Kilauea, karena kerak lavanya cepat dingin.

Menurut ahli, satu-satunya sumber panas yang cukup kuat untuk membuat pusaran adalah dari lava gunung berapi yang baru saja meletus dan mengalir di salurannya.

Sementara itu, pusaran akibat lava panas juga mengakibatkan munculnya awan pyrocumulus pyrocumulonimbus.

"Pijaran yang memancar di garis pantai juga kadang-kadang menghasilkan pusaran lemah, mungkin semacam lemahnya puting beliung. Lalu ada ada laporan tentang pelepasan listrik statis yang saya lihat digambarkan sebagai jenis petir yang sangat lemah," tambah Ballard.

Sebagian dari uap yang dihasilkan oleh kabut ini bahkan membantu memompa kelembaban ke langit dan membuat badai di sana lebih parah.

Baca Juga: Gumpalan Putih Raksasa Mengapung di Lautan Hawaii, Apakah Itu?

Video lavanado di Gunung Kilauea dapat Anda saksikan di bawah ini.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Terpopuler

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau