KOMPAS.com - Sejak 23 Juni 2018, 12 remaja Thailand yang tergabung dalam tim sepak bola terjebak di dalam kompleks goa Tham Luang, Thailand, bersama dengan pelatihnya. Mereka terperangkap dalam gelap, lembab, dan kondisi serba terbatas.
Beruntung, pada Senin (2/7/2018), tim penyelam gabungan berhasil menemukan mereka. Ini artinya secercah harapan untuk keluar dari dalam goa muncul.
Sejak saat itu pula, kebutuhan untuk makanan dan peralatan untuk menghangatkan tubuh terpenuhi. Terpenting, hasil pemeriksaan kesehatan memastikan tidak ada satu pun dari ke-13 orang ini yang mengalami kondisi kesehatan serius.
Setelah berbagai upaya, pada Minggu (8/7/2018), empat orang remaja berhasil dibawa ke luar goa. Sehari setelahnya, empat orang lainnya menyusul sehingga menyisakan lima orang lagi di dalam goa.
Namun, bagaimana kondisi mereka sebenarnya dan kemungkinan apa yang akan terjadi?
Baca juga: Berkaca Kasus Thailand, Bagaimana Sistem Peringatan Dini Goa di Indonesia?
Di samping trauma psikologis akibat terperangkap ratusan meter di bawah tanah, ketiadaan cahaya matahari bisa memengaruhi indra mereka. Terutama dalam merasakan pergeseran waktu dan persepsi mereka soal waktu.
Perubahan ini bisa menimbulkan risiko depresi, insomnia, gangguan metabolisme, dan lain sebagainya. Untuk lebih jelasnya, berikut ulasannya.
Reaksi tubuh dan pikiran saat terperangkap kegelapan
Peristiwa manusia terperangkap di goa selama berbulan-bulan bukan pertama kali terjadi.
Pada 1962, seorang ahli geologi asal Perancis bernama Michel Siffre mengurung dirinya di dalam glasier bawah tanah dekat Kota Nice selama dua bulan.
Tanpa melihat jam, kalender, terpapar cahaya matahari, serta tidak dikunjungi siapapun, Siffre membiarkan tubuhnya mendikte perilakunya.
Dia membuat catatan soal aktivitasnya dan menelpon timnya di luar setiap kali dia bangun tidur, makan, dan sesaat sebelum tidur.
Selama periode tersebut, teman-temannya tidak pernah mengungkap soal waktu dan jam.
Pada saat rekan-rekannya menghubungi Siffre untuk memberitahu bahwa dia telah mendekam selama dua bulan, dia tidak percaya. Dia yakin betul bahwa hanya satu bulan yang terlewati.
Persepsi psikologisnya soal waktu menjadi kabur oleh kegelapan konstan.
Serupa dengan kasus Siffre, manakala para penyelam menemukan ke-12 remaja dan pelatih mereka, salah satu pertanyaan yang diajukan adalah berapa lama mereka di sana.
Baca juga: Elon Musk Bikin Kapal Selam untuk Keluarkan Remaja Thailand dari Goa
Catatan Siffre mengungkap fenomena menarik lainnya.
Meski dia menghabiskan sekitar sepertiga waktunya untuk tidur seperti yang dilakukan secara normal, siklus tidur atau bangun tidurnya bukan 24 jam, melainkan 24 jam lebih 30 menit.
Atau dengan kata lain, dia mulai hidup dengan waktu internalnya, bukan berdasarkan jam yang berpatokan pada waktu matahari terbit dan tenggelam sebagaimana yang kita lakukan dalam kehidupan sehari-hari.
Fenomena serupa dapat diamati pada orang yang sepenuhnya buta.
Walaupun jam internal setiap orang berbeda-beda, beberapa orang punya jam internal di bawah 24 jam, lainnya mendekati 25 jam.
Waktu mereka dengan dunia luar sama sekali lain, sebab itu jam tidur mereka berbeda pula.
Seseorang yang punya jam internal 24,5 jam mungkin bangun pada pukul 08.00 pada hari Senin. Tapi keesokan harinya mereka bangun pukul 08.30. Kemudian pada Rabu mereka bangun pukul 09.00 dan begitu seterusnya.
Sampai setelah dua pekan, tubuh mereka mengira bahwa sekarang pukul 20.00, padahal sebenarnya pukul 08.00.
Istilah medis untuk kondisi ini adalah gangguan tidur-bangun tidur non 24 jam.
Salah satu cirinya adalah ada masa tidur nyenyak, yakni saat jam internal kira-kira sama dengan jam dunia luar, kemudian diikuti dengan masa tidur tidak nyenyak, dan mengantuk berlebihan pada siang hari.
Kira-kira serupa dengan kondisi jetlag tapi permanen.
Ritme internal ini didorong oleh secuil bagian pada otak yang disebut suprachiasmatic nucleus (SCN). Bagian ini berada sejauh dua sentimeter di dalam otak, di antara kedua alis.
Bagian tersebut bereaksi setelah mendapat masukan dari sekelompok sel peka cahaya di bagian belakang retina mata yang disebut sel-sel ganglion retina intrinsik peka cahaya.
Meskipun jam internal kita lebih cepat atau lebih lambat dari 24 jam, ketika cahaya matahari mengenai mata setiap hari, itu bertindak sebagai tombol reset bagi SCN sehingga tetap sinkron dengan siklus gelap/terang di luar.
Nah, jika Anda terperangkap di bawah tanah, atau mata Anda mengalami kerusakan parah sehingga otak tidak bisa mendapat sinyal bahwa ada cahaya, koneksi ini terputus dan Anda mulai menjalankan jam internal seperti terjadi pada remaja-remaja Thailand itu.
Sebab kemungkinannya tipis bahwa mereka punya jam internal yang sama, periode ketika semuanya mengantuk dan semuanya terjaga.
Hal ini bisa menciptakan masalah di ruang yang sempit, khususnya ketika beberapa ingin tidur sedangkan ada yang ingin terjaga.
Ada jam-jam pada bagian tubuh kita yang lain dan mereka biasanya tetap tersinkronisasi satu sama lain oleh SCN.
Jika jam di antara bagian tubuh menjadi bingung, seperti ketika seseorang terperangkap di bawah tanah, maka jam-jam lainnya bisa kacau.
Gangguan ini kemudian bisa berujung pada depresim, insomnia, gangguan metabolisme dan hormone, serta gangguan konsentrasi.
Baca juga: Belajar dari Terjebaknya Remaja Thailand, Kondisi Goa di Indonesia Sama
Pencahayaan Sirkadian
Kabar baiknya, ada cara untuk memulihkannya. Tatkala 33 penambang terjebak di tambang batubara Cile selama 69 hari pada 2010, 'pencahayaan sirkadian' khusus dibawa turun guna menirukan terang/gelap di dunia luar.
Strategi serupa bisa dilakukan di Thailand. Jika pencahayaan artifisial digunakan pada siang hari cukup terang, hal ini bisa memanipulasi SCN untuk menekan tombol reset sehingga tubuh tetap tersinkronisasi dengan dunia luar.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.