Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Berkaca Kasus Thailand, Bagaimana Sistem Peringatan Dini Goa di Indonesia?

Kompas.com - 09/07/2018, 21:05 WIB
Resa Eka Ayu Sartika

Penulis

KOMPAS.com - Beberapa hari belakangan, pemberitaan dihiasi dengan kabar terjebaknya 12 remaja Thailand di goa Tham Luang.

Seperti di Thailand, Indonesia diketahui juga punya banyak goa. Bahkan, sebuah laporan BBC Indonesia menyebut karakteristik goa di kedua negara ini disebut mirip.

Hal ini tentu membuat kita perlu mengambil pelajaran dari kasus tersebut.

Cahyo Rahmadi, penelusur sekaligus peneliti biologi goa menyebut salah satu yang bisa dipelajari dari kasus di Thailand adalah early warning system atau sistem peringatan dini.

Perhatikan Musim

"Kegiatan penelusuran gua itu kan kegiatan yang risikonya tinggi, jadi kalau misalnya kita dari sisi penelusur gua, yang pertama harus disadari dan ditekankan adalah kita harus tahu musim," ujar Cahyo kepada Kompas.com melalui sambungan telepon, Senin (09/07/2018).

Artinya, kita perlu memperhatikan waktu saat hendak melakukan penelusuran goa. Menurut Cahyo, mengetahui kapan musim hujan dan kemarau adalah hal dasar namun sangat penting bagi kegiatan ini.

"Kecelakaan goa itu paling bahaya itu kan sebenarnya ya dari banjir," kata Cahyo.

"Di Indonesia sendiri sudah beberapa kali kejadian. Korban meninggal terjadi karena banjir di Tasikmalaya 7 orang, kemudian di Karawang 4 orang, dan di Gunung Kidul itu 3 orang," kisahnya.

Menurutnya, dari sisi early warning, paling mudah adalah menghindari kegiatan penelusuran gua saat musim-musim hujan.

Baca juga: Elon Musk Bikin Kapal Selam untuk Keluarkan Remaja Thailand dari Goa

Karakteristik Goa

Selain itu, Cahyo juga mengingatkan tentang pentingnya mengetahui karakteristik goa.

"Misalnya gini, yang di Tham Luang itu kan aliran sungai bawah tanah," kata Cahyo.

"Kita (Indonesia) juga punya banyak sungai-sungai bawah tanah yang ada di kawasan karst itu," imbuhnya.

Untuk itu, Cahyo menegaskan pentingnya mengetahui karakteristik goa sebelum melakukan penelusuran.

"Seperti yang di Thailand ini kan mereka berhadapan dengan waktu kemudian dengan musim, karena sudah mulai memasuki musim hujan," tuturnya.

"Mau tidak mau, mereka juga harus mengetahui karakteristik goanya," tegas Cahyo.

Cahyo juga menyebut, beberapa gua di Thailand memang punya karakteristik yang lorongnya penuh dengan air. Karenanya, menurut Cahyo, jalan satu-satunya adalah menyelam.

Edukasi

Di samping mengetahui musim dan karakteristik goa, Cahyo juga menekankan pentingnya edukasi kepada masyarakat.

"Perlu juga semacam kampanye untuk masyarakat," kata Cahyo.

Baca juga: Belajar dari Terjebaknya Remaja Thailand, Kondisi Goa di Indonesia Sama

"Nah, (kasus) yang di Thailand itu kan mereka bukan penelusur goa sebenarnya, pemain bola, mereka mungkin (masuk) untuk rekreasi," tambahnya.

Untuk itu, Cahyo mengingatkan pentingnya edukasi tentang hal ini pada masyarakat.

"Ketika ada yang berkegiatan di lingkungan goa, khususnya teman-teman yang awam, harus didampingi orang yang sudah berpengalaman," tegasnya.

Tiba-tiba Banjir

Cahyo juga menuturkan tentang pengalamannnya ketika melakukan penelusuran goa. Dia menyebut bahwa banjir di goa sering tak dapat terprediksi.

"Sistem pergoaan itu masalahnya kadang-kadang tiba-tiba banjir itu kita tidak tahu," kisah Cahyo.

"Pengalaman saya pribadi, kebanjiran tapi di sekitar mulut goa tidak hujan," sambungnya.

Menurut dia, ini bisa menjadi kendala besar.

"Kadang, ketika di mulut goa tidak hujan, tapi tiba-tiba hujan datang," Cahyo mengisahkan pengalamannya yang lain.

Untuk itu, Cahyo juga menyebut langkah antisipasi yang bisa diambil adalah berkomunikasi dengan orang yang ada di mulut goa.

"Sepanjang kita masih bisa berkomunikasi, harus ada orang yang stand by, memonitor kondisi mulut goa, terutama untuk sungai masuk, itu ada air yang datang atau tidak," ujarnya.

Baca juga: Terjebak 10 Hari di Gua Thailand, Berapa Lama Manusia Bisa Bertahan?

Musim Peralihan

Peneliti LIPI ini juga mengingatkan untuk tidak masuk goa ketika musim peralihan.

"(Peralihan) dari musim kemarau ke musim hujan, itu biasanya kita kan masih tidak tahu (cuaca)," katanya.

Namun, menurutnya, yang paling rentan adalah peralihan dari musim hujan ke musim kemarau. Peralihan musim ini biasa terjadi pada bulan Februari, Maret, dan April.

"Karena itu kan habis musim hujan, jadi tanah sudah jenuh," kata Cahyo.

"Jadi, hujan sedikit saja, langsung jadi air larian dan masuk ke sistem sungai bawah tanah dan banjir itu tadi," sambungnya.

Doktor lulusan Jepang ini mencontohkan goa-goa di Gunung Kidul ketika terjadinya siklon cempaka pada November lalu.

"Hampir semua goa di Gunung Kidul yang besar-besar kan penuh dengan air ketika terjadinya siklon Cempaka," kisah Cahyo.

"Itu yang menjadi kendala, kita tidak tahu persis kapan air itu akan masuk dan menjadi banjir," sambungnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau