KOMPAS.com - Belakangan ramai perbincangan soal Andrich, alat yang mampu mengolah limbah tinja menjadi air bersih di Indonesia.
Terobosan ini mungin terdengar aneh dan janggal. Namun, tak ada yang tak mungkin dalam dunia sains.
Buktinya, sudah sejak 2011 NASA menggelontorkan 200.000 dollar setiap tahunnya selama tiga tahun untuk mengubah kotoran manusia menjadi makanan layak dikonsumsi astronot.
Beberapa bulan lalu ilmuwan Penn State juga mengumumkan temuan penting yang dapat mengubah kotoran manusia, yakni tinja, menjadi makanan untuk para astronot.
Baca juga: Misi Antariksa, Ilmuwan Bikin Makanan dengan Bantuan Feses Manusia
"Konsepnya mirip seperti Marmite atau Vegemite, di mana Anda makan olesan 'mikroba lengket'," kata Christopher House, ahli geologi dai Penn State yang memimpin penelitian tersebut.
Sejauh ini, kotoran manusia masih menjadi masalah dalam misi Stasiun Luar Angkasa Internasional (ISS).
Di ISS, air urin para astronot telah berhasil disaring dan didaur ulang menjadi air minum layak konsumsi.
Sementara untuk tinjanya, sejauh ini hanya dibuang bersama sampah lain yang akan terbakar di atmosfer bumi.
Menurut para ahli, ada beberapa tahapan yang harus dilalui untuk mengubah tinja menjadi sesuatu yang bisa dikonsumsi dan tetap aman.
"Kami mengumpulkan limbah padat dan cair dari para astronot dan semuanya dimasukkan ke dalam reaktor bersama dengan campuran bakteri untuk menghancurkan kotoran," kata Lisa Steinberg, pengawas laboratorium Delaware County Community College, kepada NPR.
"Campuran itu akan menghasilkan gas metana, kemudian diumpankan ke jenis bakteri kedua yang dapat menumbuhkan 52 persen protein dan 36 persen lemak," imbuhnya.
Hasil daur ulang kencing dan tinja itu akan menumbuhkan bakteri Methylococcus capsulatus. Di Bumi, bakteri itu dimanfaatkan untuk pakan ternak.
Hingga saat ini sistem tersebut terus diuji agar dapat mencegah pertumbuhan mikroba berbahaya di antara bakteri yang dapat dimakan.
Baca juga: Astronot Keempat yang Menginjak Bulan Meninggal
Diberitakan KOMPAS.com sebelumnya, para ahli membuat peternakan mikroba dalam lingkungan basa, pH 11. Di lingkungan ini, mereka mampu menumbuhkan bakteri dengan kadar protein dengan kadar 15 persen dan mengandung lemak 7 persen.
Para ahli juga menaikkan suhu lingkungan mikroba menjadi 70 derajat Celcius untuk mencegah patogen. Mereka berhasil menumbuhkan bakteri Thermus aquaticus yang tahan panas. Mikroba tersebut adalah protein 61 persen dan lemak 16 persen.
Lebih dari 13 jam, para ilmuwan sanggup mengurai 49 persen dan 59 persen limbah. Ini lebih cepat dibanding pengelolaan sampah tradisional. Produksi makanan juga secara cepat terjadi.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.