Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kepunahan Dinosaurus, Cara untuk Memahami Dampak Pemanasan Global

Kompas.com - 25/05/2018, 19:02 WIB
Gloria Setyvani Putri

Penulis


KOMPAS.com - Ada kepercayaan, kepunahan dinosaurus 66 juta tahun lalu disebabkan oleh benturan asteroid sebesar gunung. Setidaknya, sekitar tiga perempat penduduk bumi hangus.

Para ahli juga sudah lama berteori, tabrakan asteroid yang menghapus isi bumi menimbulkan musim dingin global yang semakin menghancurkan.

Konsentrasi karbondioksida terus meningkat sepanjang tahun, hingga membuat Bumi menjadi rumah kaca setelah malapetaka itu terjadi.

Sebuah studi yang baru terbit di jurnal Science, Kamis (24/5/2018), menunjukkan fakta dan bukti untuk mendukung hipotesis pemanasan global yang mungkin dapat berimplikasi pada dunia kita saat ini.

Baca juga: Perubahan Iklim Bikin Gizi dalam Padi Menurun Drastis

Salah satu bukti asteroid menabrak bumi 66 juta tahun lalu adalah terbentuknya kawah Chicxulub yang terkubur di Semenanjung Yukatan, Meksiko, dengan diameter seluas 180 kilometer.

Banyak ahli percaya sejak kawah Chicxulublah terbentuk, suhu di laut subtropis meningkat sampai 5 derajat Celsius dan bertahan sampai 100.000 tahun.

Lewat studi baru ini, peneliti ingin menyampaikan bahwa dorongan CO2 yang relatif singkat dapat memberi efek sangat lama.

Baca juga: Usaha Sepi Usai Direview Food Vlogger, Sidik Eduard: Seneng Mereka Jujur, tapi...

Jika kita mengamati dunia yang kita tinggali saat ini, sebenarnya hal tersebut relevan.

Lewat emisi gas rumah kaca, secara tidak langsung banyak negara telah menyumbang lonjakan kanbon dioksida di atmosfer yang kemudian menghasilkan pemanasan global.

"Implikasi kaskade yang kami temukan adalah pemuatan karbon dioksida yang terjadi selama satu dekade akan berdampak pada pemanasan rumah kaca hingga 100.000 tahun," kata penulis utama Studi Ken Macleod, seorang paleontolog dari Universitas Missouri dilansir Science Alert, Jumat (25/5/2018).

Baca juga: Cara Terdaftar Jadi Penerima Dana PIP, Siswa SD-SMA Ikuti Langkah Ini

"Bahkan jika kita memutar waktu ke tahun 1850, kita terkurung dalam 100.000 tahun Bumi merespons kadar CO2 tersebut," imbuhnya.

Kesimpulan ini didapat setelah para peneliti mengamati sisa ikan, baik tulang, gigi, maupun sisik, yang didapat dari El Kef, di Tunisia.

El Kef adalah situs terkenal yang menampilkan formasi geologi dengan lapisan sedimen dari akhir periode Cretaceour (saat banyak dinosaurus berkeliaran di Bumi) hingga dimulainya era Paleogen, atau dikenal dengan K/Pg.

Penelitian

Baca juga: Samuel Rizal Ungkap Alasan Sengaja Tak Datang ke Pemakaman Stevie Agnecya

Menurut Page Quinton, profesor di Universitas New York, Potsdam, sisa ikan berfungsi sebagai semacam termometer.

Serpihan ikan yang seukuran pasir disebut mengandung isotop oksigen, atom yang memiliki jumlah neutron berbeda dan bobot atom yang berbeda.

Salah satu hal yang dapat memengaruhi berapa banyak isotop adalah suhu air.

Baca juga: Dewi Yull Ungkap Satu Pesan pada Anak-anaknya agar Tak Membenci Ray Sahetapy Usai Bercerai

Quinton menjelaskan, saat ada pergeseran rasio isotop dalam fragmen ikan, itu berarti terjadi perubahan suhu.

Investigasi awal terhadap beberapa sampel El Kef yang dilakukan empat tahun lalu, menunjukkan telah terjadi pemanasan global dalam waktu yang lama.

Para ahli kemudian mendapat lebih banyak sampel fragmen dan mengamati pola yang ada di sana bertahun-tahun.

"Kami adalah yang pertama membuktikan bahwa terjadi pemanasan setelah kejadian itu," kata Quinton.

MacLeod menjelaskan, salah satuj dampak yang pertama muncul adalah ombak besar dan tsunami. Beberapa menit atau beberapa jam kemudian, atmosfer langit memanas.

Baca juga: Berkat Pemanasan Global, Kehidupan Bermunculan di Bumi

Kebakaran hutan terjadi secara global

Berkat penelitian ini, setidaknya kita dapat memahami seberapa parah dampak dari konsentrasi CO2 di atmosfer.

Hal ini juga disampaikan oleh ahli geologi dari Museum Sejarah Alam Nasional Smithsonian, Brian Huber.

"Kita dapat mengambil pelajaran untuk pemanasan global di masa depan. Saat kita membakar bahan bakar fosil, kita berarti menyumbang CO2 ke atmosfer," kata Huber.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Berikan Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Verifikasi akun KG Media ID
Verifikasi Akun
Proteksi akunmu dari aktivitas yang tidak kamu lakukan.
199920002001200220032004200520062007200820092010
Data akan digunakan untuk tujuan verifikasi sesuai Kebijakan Data Pribadi KG Media.
Verifikasi Akun Berhasil
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau