Lihat saja, data menunjukkan bahwa Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan merilis deforestasi 2016-2017 sebesar 496.370 hektar. Catatan ini mengalami penurunan dari periode tahun sebelumnya, yakni sekitar 630.000 hektar per tahun.
Angka itu tidak kecil meskipun sudah ada penurunan. Bagaimanapun juga, hutan Indonesia adalah cerminan dari keanekaragaman hayati, rumah bagi ribuan spesies tanaman dan hewan, dan jutaan penduduk Indonesia bergantung langsung pada hutan untuk mata pencaharian mereka.
Kelapa sawit si buah simalakama?
Mengubah hutan jadi berbagai komoditas memang bukan hal baru di negara kita. Salah satu peralihan hutan yang jamak dilakukan di Indonesia adalah dengan mengubahnya menjadi kebun kelapa sawit.
Berdasarkan studi World Resources Institute (WRI, 2014), Indonesia telah kehilangan lebih dari 6 juta hektar hutan selama 2000-2012 yang sebagian besar diperuntukkan untuk konversi perkebunan sawit.
Merujuk pada artikel Kompas.com pada 22 Desember 2017, luas lahan perkebunan kelapa sawit Indonesia mencapai 11,67 hektar pada 2016.
Yang lebih penting, ekspor minyak sawit Indonesia pada 2017 mencapai 2,98 ton atau naik 24 persen dari ekspor sebelumnya. Ini menunjukkan pentingnya kelapa sawit bagi sumbangan devisa Indonesia.
Sayangnya, ada harga lebih mahal yang harus dibayar dalam menunjang pertumbuhan ekonomi yang memanfaatkan eksploitasi alam tersebut.
Kelapa sawit adalah tumbuhan homogen, yang dalam budidayanya tidak bisa disandingkan dengan aneka ragam tumbuhan lainnya. Dia harus berdiri tegak sendirian, kontras dengan hutan yang menjadi ladang heterogenitas tumbuhan dan juga hewan.
Selain itu, Universitas Goettingen, Jerman, mengumumkan hasil penelitiannya bahwa kebun kelapa sawit memicu kenaikan suhu permukaan tanah.
Berdasarkan pengamatan ilmuwan pada 2000 hingga 2015 di Jambi, alih fungsi hutan membuat suhu rata-rata meningkat sebanyak 1,05 derajat Celcius.
Adapun suhu di kawasan hutan hanya meningkat 0,45 derajat Celcius. Efeknya, permukaan tanah menerima lebih banyak radiasi matahari dan meranggas lebih cepat.
Memang, bila kita perhatikan, pemerintah mempunyai banyak pembelaan lain terhadap budidaya kelapa sawit. Selain dinilai mempunyai kontribusi tinggi terhadap pertumbuhan ekonomi, kelapa sawit yang diwujudkan dalam bahan bakar (biodiesel) dinilai mengurangi dampak emisi GRK.
Namun, rupanya hal itu tidak sebanding dengan kerusakan alam yang ditinggalkan. Buktinya, awal tahun ini parlemen Uni Eropa telah mengesahkan rancangan penghapusan minyak kelapa sawit sebagai bahan dasar biodiesel pada 2021.
Kelapa sawit bukan lagi buah simalakama, tetapi buah kerugian yang harus dalam jangka panjang. Kenyataan ini memang pahit, namun pemerintah Indonesia harus legawa menerimanya.
Pemerintah juga harus bekerja lebih keras untuk menemukan potensi lain yang bisa dijual sebagai penambah devisa.
Tentunya, rakyat Indonesia juga dengan senang hati tetap bekerja keras, bila pemerintah bisa menemukan solusi yang tidak lagi merusak sumber daya alam dengan dalih mempertahankan pertumbuhan ekonomi.
Dinda Lisna Amilia
Pelajar S-2 jurusan Mass Communication, University of Mysore, India
Wakil Kantor Komunikasi PPI Dunia (ppidunia.org)