Salah satu gejala anomali cuaca tidak hanya terjadi di Indonesia. Pada 2016, sesuatu yang belum pernah terjadi menyapa beberapa bagian Kutub Utara. Suhu merangkak naik hingga delapan derajat Celcius.
Fenomena ini belum pernah terjadi sejak tahun 1970-an. Hal itu ditengarai sebagai hasil dari pemanasan global sehingga es kutub mulai mencair.
Pada awal 2018, ilmuwan Stephen Hawking sebelum meninggal telah memperingatkan kondisi bumi yang terus memanas.
Hawking berujar, bila manusia tidak bisa mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK), maka suhu bumi bisa berangsur menuju suhu yang sama seperti Venus sekarang, yakni sekitar 460 derajat Celcius.
Venus memang bisa menjadi contoh bila sebuah planet yang mengalami fenomena pemanasan rumah kaca mencapai tingkat ekstrem (Dailymail, Januari 2018).
Lantas, apa yang menyumbang progresivitas emisi GRK dari tahun ke tahun? Sumber emisi GRK terbesar di Indonesia terdiri dari kehutanan (36 persen), kebakaran gambut (26 persen), energi (22 persen), limbah (9 persen), dan pertanian (5 persen). Bila memang kehutanan yang menjadi penyumbang utama dalam emisi GRK, lantas apa sebenarnya yang terjadi dengan hutan kita?
Pada umumnya, kita sebagai masyarakat awam hanya mengetahui hutan kita dibombardir dengan penebangan pohon. Lantas, apa yang perlu kita ketahui mengenai dampak penebangan hutan massal terhadap perubahan lingkungan di Indonesia? Langkah apa yang bisa kita berikan untuk membentengi keselamatan hutan kita?
Dosa Orde Baru
Sejak hadirnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Kehutanan, era sistem persetujuan hak pengusahaan hutan (HPH) dimulai. Baik perusahaan negara (BUMN) maupun swasta berlomba-lomba memiliki HPH.
Para elite penguasa ini kemudian membangun kerja sama dengan para pedagang untuk mengeksploitasi hutan dengan keterlibatan yang sangat terbatas dari ilmuwan hutan atau mereka yang "mengerti" cara mengubah hutan tanpa dengan merusak alam (Sejarah Penjarahan Hutan Bagian 2; Forest Watch Indonesia).
Efeknya, pada 1995, ada sekitar 586 konsesi HPH dengan luas keseluruhan 63 juta hektar atau lebih separuh dari luas hutan tetap, baik yang dieksploitasi persahaan swasta maupun BUMN.
Nahasnya, mayoritas dari area hutan yang diberikan pada HPH adalah kawasan hutan yang belum dikukuhkan. Artinya, area tersebut belum mempunyai legal formal bahwa hutan tersebut adalah milik negara.
Jadi, penerapan sistem konsesi HPH saat Orde Baru (Orba) adalah bentuk penjarahan hutan nasional secara massal dan dilakukan secara vulgar oleh kelompok kepentingan politik yang dominan pada waktu itu. Siapa lagi kalau bukan militer yang didukung para politisi yang berkedudukan saat itu.
Setelah mengais sisa-sisa penjarahan hutan pada masa Orba, para manusia rupanya belum cukup untuk melakukan alih hutan menjadi komoditas lain (deforestasi).
Lihat saja, data menunjukkan bahwa Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan merilis deforestasi 2016-2017 sebesar 496.370 hektar. Catatan ini mengalami penurunan dari periode tahun sebelumnya, yakni sekitar 630.000 hektar per tahun.
Angka itu tidak kecil meskipun sudah ada penurunan. Bagaimanapun juga, hutan Indonesia adalah cerminan dari keanekaragaman hayati, rumah bagi ribuan spesies tanaman dan hewan, dan jutaan penduduk Indonesia bergantung langsung pada hutan untuk mata pencaharian mereka.
Kelapa sawit si buah simalakama?
Mengubah hutan jadi berbagai komoditas memang bukan hal baru di negara kita. Salah satu peralihan hutan yang jamak dilakukan di Indonesia adalah dengan mengubahnya menjadi kebun kelapa sawit.
Berdasarkan studi World Resources Institute (WRI, 2014), Indonesia telah kehilangan lebih dari 6 juta hektar hutan selama 2000-2012 yang sebagian besar diperuntukkan untuk konversi perkebunan sawit.
Merujuk pada artikel Kompas.com pada 22 Desember 2017, luas lahan perkebunan kelapa sawit Indonesia mencapai 11,67 hektar pada 2016.
Yang lebih penting, ekspor minyak sawit Indonesia pada 2017 mencapai 2,98 ton atau naik 24 persen dari ekspor sebelumnya. Ini menunjukkan pentingnya kelapa sawit bagi sumbangan devisa Indonesia.
Sayangnya, ada harga lebih mahal yang harus dibayar dalam menunjang pertumbuhan ekonomi yang memanfaatkan eksploitasi alam tersebut.
Kelapa sawit adalah tumbuhan homogen, yang dalam budidayanya tidak bisa disandingkan dengan aneka ragam tumbuhan lainnya. Dia harus berdiri tegak sendirian, kontras dengan hutan yang menjadi ladang heterogenitas tumbuhan dan juga hewan.
Selain itu, Universitas Goettingen, Jerman, mengumumkan hasil penelitiannya bahwa kebun kelapa sawit memicu kenaikan suhu permukaan tanah.
Berdasarkan pengamatan ilmuwan pada 2000 hingga 2015 di Jambi, alih fungsi hutan membuat suhu rata-rata meningkat sebanyak 1,05 derajat Celcius.
Adapun suhu di kawasan hutan hanya meningkat 0,45 derajat Celcius. Efeknya, permukaan tanah menerima lebih banyak radiasi matahari dan meranggas lebih cepat.
Memang, bila kita perhatikan, pemerintah mempunyai banyak pembelaan lain terhadap budidaya kelapa sawit. Selain dinilai mempunyai kontribusi tinggi terhadap pertumbuhan ekonomi, kelapa sawit yang diwujudkan dalam bahan bakar (biodiesel) dinilai mengurangi dampak emisi GRK.
Namun, rupanya hal itu tidak sebanding dengan kerusakan alam yang ditinggalkan. Buktinya, awal tahun ini parlemen Uni Eropa telah mengesahkan rancangan penghapusan minyak kelapa sawit sebagai bahan dasar biodiesel pada 2021.
Kelapa sawit bukan lagi buah simalakama, tetapi buah kerugian yang harus dalam jangka panjang. Kenyataan ini memang pahit, namun pemerintah Indonesia harus legawa menerimanya.
Pemerintah juga harus bekerja lebih keras untuk menemukan potensi lain yang bisa dijual sebagai penambah devisa.
Tentunya, rakyat Indonesia juga dengan senang hati tetap bekerja keras, bila pemerintah bisa menemukan solusi yang tidak lagi merusak sumber daya alam dengan dalih mempertahankan pertumbuhan ekonomi.
Dinda Lisna Amilia
Pelajar S-2 jurusan Mass Communication, University of Mysore, India
Wakil Kantor Komunikasi PPI Dunia (ppidunia.org)
https://sains.kompas.com/read/2018/05/08/162716523/dongeng-penjarahan-hutan-indonesia-dosa-orde-baru-dan-kelapa-sawit