Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Perhimpunan Pelajar Indonesia
PPI

Perhimpunan Pelajar Indonesia (www.ppidunia.org)

Dongeng Penjarahan Hutan Indonesia, Dosa Orde Baru dan Kelapa Sawit?

Kompas.com - 08/05/2018, 16:27 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

BEBERAPA tahun belakangan, mungkin kita mulai terbiasa dengan suhu terik di atas 35 derajat Celcius di bulan Mei. Begitu juga dengan hujan lebat pada Juni.

Salah satu gejala anomali cuaca tidak hanya terjadi di Indonesia. Pada 2016, sesuatu yang belum pernah terjadi menyapa beberapa bagian Kutub Utara. Suhu merangkak naik hingga delapan derajat Celcius.

Fenomena ini belum pernah terjadi sejak tahun 1970-an. Hal itu ditengarai sebagai hasil dari pemanasan global sehingga es kutub mulai mencair.

Pada awal 2018, ilmuwan Stephen Hawking sebelum meninggal telah memperingatkan kondisi bumi yang terus memanas.

Hawking berujar, bila manusia tidak bisa mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK), maka suhu bumi bisa berangsur menuju suhu yang sama seperti Venus sekarang, yakni sekitar 460 derajat Celcius.

Venus memang bisa menjadi contoh bila sebuah planet yang mengalami fenomena pemanasan rumah kaca mencapai tingkat ekstrem (Dailymail, Januari 2018).

Lantas, apa yang menyumbang progresivitas emisi GRK dari tahun ke tahun? Sumber emisi GRK terbesar di Indonesia terdiri dari kehutanan (36 persen), kebakaran gambut (26 persen), energi (22 persen), limbah (9 persen), dan pertanian (5 persen). Bila memang kehutanan yang menjadi penyumbang utama dalam emisi GRK, lantas apa sebenarnya yang terjadi dengan hutan kita?

Pada umumnya, kita sebagai masyarakat awam hanya mengetahui hutan kita dibombardir dengan penebangan pohon. Lantas, apa yang perlu kita ketahui mengenai dampak penebangan hutan massal terhadap perubahan lingkungan di Indonesia? Langkah apa yang bisa kita berikan untuk membentengi keselamatan hutan kita?

Dosa Orde Baru

Sejak hadirnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Kehutanan, era sistem persetujuan hak pengusahaan hutan (HPH) dimulai. Baik perusahaan negara (BUMN) maupun swasta berlomba-lomba memiliki HPH.

Para elite penguasa ini kemudian membangun kerja sama dengan para pedagang untuk mengeksploitasi hutan dengan keterlibatan yang sangat terbatas dari ilmuwan hutan atau mereka yang "mengerti" cara mengubah hutan tanpa dengan merusak alam (Sejarah Penjarahan Hutan Bagian 2; Forest Watch Indonesia).

Efeknya, pada 1995, ada sekitar 586 konsesi HPH dengan luas keseluruhan 63 juta hektar atau lebih separuh dari luas hutan tetap, baik yang dieksploitasi persahaan swasta maupun BUMN.

Nahasnya, mayoritas dari area hutan yang diberikan pada HPH adalah kawasan hutan yang belum dikukuhkan. Artinya, area tersebut belum mempunyai legal formal bahwa hutan tersebut adalah milik negara.

Jadi, penerapan sistem konsesi HPH saat Orde Baru (Orba) adalah bentuk penjarahan hutan nasional secara massal dan dilakukan secara vulgar oleh kelompok kepentingan politik yang dominan pada waktu itu. Siapa lagi kalau bukan militer yang didukung para politisi yang berkedudukan saat itu.

Setelah mengais sisa-sisa penjarahan hutan pada masa Orba, para manusia rupanya belum cukup untuk melakukan alih hutan menjadi komoditas lain (deforestasi).

Halaman:


Video Pilihan Video Lainnya >

Terkini Lainnya

Kisah Penemuan Kerabat T-Rex, Tersembunyi di Laci Museum Selama 50 Tahun
Kisah Penemuan Kerabat T-Rex, Tersembunyi di Laci Museum Selama 50 Tahun
Fenomena
Planet Baru Mirip Bumi Ditemukan Mengorbit Bintang Katai 
Planet Baru Mirip Bumi Ditemukan Mengorbit Bintang Katai 
Fenomena
Mengapa Evolusi Bisa Menjelaskan Ukuran Testis Manusia Tapi Tidak Dagu Kita yang Unik
Mengapa Evolusi Bisa Menjelaskan Ukuran Testis Manusia Tapi Tidak Dagu Kita yang Unik
Kita
Paus Pembunuh Berbagi Mangsa dengan Manusia: Tanda Kepedulian atau Rasa Ingin Tahu?
Paus Pembunuh Berbagi Mangsa dengan Manusia: Tanda Kepedulian atau Rasa Ingin Tahu?
Oh Begitu
Apakah Kucing Satu-Satunya Hewan yang Bisa Mengeluarkan Suara Mendengkur?
Apakah Kucing Satu-Satunya Hewan yang Bisa Mengeluarkan Suara Mendengkur?
Oh Begitu
Siapakah Pemburu Terhebat dan Terburuk di Dunia Hewan? 
Siapakah Pemburu Terhebat dan Terburuk di Dunia Hewan? 
Oh Begitu
Misteri Sepatu Raksasa Romawi Kuno, Siapakah Pemiliknya?
Misteri Sepatu Raksasa Romawi Kuno, Siapakah Pemiliknya?
Oh Begitu
Bagaimana Wujud Neanderthal dan Denisovan Jika Masih Hidup Hari Ini?
Bagaimana Wujud Neanderthal dan Denisovan Jika Masih Hidup Hari Ini?
Kita
NASA Temukan Objek Antar-Bintang yang Melintas Cepat di Tata Surya
NASA Temukan Objek Antar-Bintang yang Melintas Cepat di Tata Surya
Fenomena
Keindahan Planet Merkurius Terlihat Jelas di Langit Senja Juli Ini
Keindahan Planet Merkurius Terlihat Jelas di Langit Senja Juli Ini
Oh Begitu
Ditemukan, Planet Ekstrem yang Memicu Semburan Energi di Bintang Induknya
Ditemukan, Planet Ekstrem yang Memicu Semburan Energi di Bintang Induknya
Oh Begitu
Bisakah Serigala dan Rubah Kawin Silang? Ini Jawaban Ilmiahnya
Bisakah Serigala dan Rubah Kawin Silang? Ini Jawaban Ilmiahnya
Oh Begitu
Satelit “Zombie” NASA Kembali Hidup, Pancarkan Sinyal Radio Setelah 60 Tahun Mati Total
Satelit “Zombie” NASA Kembali Hidup, Pancarkan Sinyal Radio Setelah 60 Tahun Mati Total
Oh Begitu
Teleskop Webb Ungkap Rahasia Materi Gelap di Zona Tabrakan Kosmik
Teleskop Webb Ungkap Rahasia Materi Gelap di Zona Tabrakan Kosmik
Fenomena
Peneliti Temukan Saklar Kolesterol, Harapan Baru Cegah Penyakit Jantung, Diabetes, dan Kanker
Peneliti Temukan Saklar Kolesterol, Harapan Baru Cegah Penyakit Jantung, Diabetes, dan Kanker
Kita
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau