KOMPAS.com - “Di NTT itu banyak kekurangan, salah satunya akses listrik. Jadi warga desa mengalami banyak kesulitan,” ujar Romo Marselus Hasan yang baru saja menerima apresiasi Pejuang Air Ades, di Jakarta, Kamis (3/5/2018).
Ditemui oleh Kompas.com sesudahnya, Marselus bercerita bahwa akses listrik yang minim juga dirasakan oleh umat Paroki Santo Damian, di Desa Bea Muring, Kecamatan Poco Ranaka, Flores, Nusa Tenggara Timur.
Untungnya, Romo yang diutus untuk melayani paroki tersebut sejak tahun 2011 tersebut tidak tinggal diam menyaksikan penderitaan 8000 umat Katolik di sana. Ia lantas bertekad untuk mengaplikasikan ajaran gereja yang selama ini dia terima.
“Apa yang dialami umat juga jadi masalah gereja,” ujarnya.
Menurut Marselus, sudah saatnya warga di desa tersebut terentaskan dari kegelapan. Pasalnya, sejak kemerdekaan hingga kedatangannya, cahaya lampu seolah jadi barang langka dan mahal di sana.
Baca juga : Jalan Pertobatan Pemburu Duyung dari Desa Air Glubi
“Warga tiap malam harus pakai generator yang cuma bisa menyalakan listrik selama empat jam,” ujarnya.
Sudah begitu, generator termasuk mesin yang mudah rusak. Jadi, hampir tiap hari dia berkutat dengan perbaikan generator.
Untuk menghidupkan generatornya pun, kata Marselus, warga mesti menganggarkan biaya Rp 30.000 per malam untuk membeli dua botol solar atau bensin, sehingga generator hanya bisa dinikmati oleh warga yang mampu saja. Jika tak sanggup beli generator dan bahan bakarnya, warga terbiasa hidup berkawan dengan gulita.
“Dalam sebulan, tiap kepala keluarga sudah habis Rp 900.000 rupiah. Ini terbilang boros,” katanya.
Warga juga mesti menghadapi dampak buruk lain dari dioperasikannya generator. Getar generator yang saling bersahut antar rumah menimbulkan kebisingan dan membikin polusi suara.
Tak hanya itu, warga ibarat kenyang menghirup akumulasi kepulan asap buangan generator. Jika terus dibiarkan, bahaya mengintai warga dari sisi kesehatan. “Bayangkan satu desa minimal ada 50 generator,” ungkapnya.
Baca juga : Kisah Makhluk Halus dan Usaha Warga Desa Torosiaje Menjaga Mangrove
Potensi Air
Dari baca-baca dari internet, akhirnya Marselus tergerak untuk menggagas pembuatan Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH). Pemikiran tersebut lahir setelah dia sadar akan potensi air yang melimpah di sana.
Dia menyebutkan, terdapat aliran sungai besar dan kecil yang mestinya bisa dimanfaatkan sebagai energi terbarukan.
Secercah harapan tersebut hadir di antaranya dari Sungai Wae Rina, Sungai Wae Lenger, dan Sungai Wae Mese.
"Setelah lima bulan cari tahu soal PLTMH, saya menemukan teknisi Budi Yuwono. Saya kontak dia," ujarnya.
Dia berkomunikasi dengan Budi Yuwono untuk memastikan supaya cita-citanya tidak menguap jadi angan belaka. Sebab, dia sadar tidak punya latar belakang teknik atau lingkungan sama sekali.
Baca juga : Cerita Fani Laluyen Berdayakan Diri dan Desa dengan Tanaman Obat
Swadaya Iuran
Perjalanan keduanya tidak mulus. Tentangan sempat muncul karena proyek berbasis teknologi yang benar-benar baru di sana. Selintingan negatif juga kerap menghampiri. Namun, gereja terus mendukung.
Akhirnya proyek dimulai pada Juli 2012. Pendanaan masih murni berasal dari patungan tiap kepala keluarga.
"Awalnya tiap KK ditarik biaya dua juta rupiah. Dana awal tadi untuk pengadaan jaringan dan instalasi," katanya.
Selanjutnya, ketika PLTMH rampung dibangun dan siap digunakan, warga tetap dikenai biaya pemakaian, tetapi tidak semahal yang dikeluarkan saat memanfaatkan generator.
"Tiap KK perbulan iuran Rp 10.000 untuk satu bohlam lampu," ujarnya.
Rata-rata tiap rumah tiga lampu, sehingga total Rp 30.000 per bulan. Peralatan elektronik semisal televisi dikutip harga setara tiga lampu yakni Rp 30.000.
Bandingkan dengan biaya generator yang sampai Rp 900.000, jelas ada penghematan sekitar Rp 870.000.
Baca juga : Kisah Arya Permana, Anak Tergemuk di Dunia, yang Beratnya Turun 83 Kg
Menyebar ke Paroki Lain
PLTMH pertama, Wae Rina diresmikan oleh Uskup Ruteng Hubertus Leteng pada 12 Oktober 2012. PLTMH berikutnya berhasil diadakan dalam rentang tahun 2013 hingga 2017 yakni di antaranya PLTMH Wae Mese Wangkar, Wae Laban, dan Wae Lengger Menggol.
PLTMH Wae Rina di Desa Deno, Kecamatan Poco Ranaka. PLTMH Wae Mese Wangkar di Kecamatan Sampi Rampas di Paroki Watunggong. PLTMH Wae Lengger Menggol di Paroki Bea Muring. PLTMH Wae Laban, di Desa Wae Laban, Kecamatan Elar.
Pria kelahiran Ujung Pandang tersebut sengaja menyebarkan misi kebaikannya tak cuma di parokinya saja. Dengan demikian, semua desa bisa mencecap bahagianya dialiri listrik.
Lagipula, listrik yang dihasilkan PLTMH dengan turbin cross flow cukup bisa diandalkan untuk sehari-hari.
“Listrik dari tiap PLTMH besarannya beragam, dari 35 kwh sampai 100 kwh. Biasanya dipakai untuk pelayanan fasilitas umum seperti rumah sakit, rumah adat, puskesmas pembantu; serta rumah warga,” ungkapnya.
Baca juga : Kisah dari Desa Pengudang, Selamatkan Ikon Bintan dengan Menjaga Lamun
Kendala Biaya
Kendala utama masih seputar pembiayaan untuk mendirikan PLTMH. Untuk rintisan pertama PLTMH Wae Rina, warga masih sanggup untuk melunasi iuran awal.
Namun, kenaikan harga BBM memaksa Marselus menaikkan tarif menjadi Rp 2,75 juta. Akibatnya, warga sempat berontak.
Pendeta itu pun mengupayakan cara lain. Salah satunya dengan menggandeng lembaga keuangan seperti Bank NTT, koperasi, dan UNDP. Pinjaman didapat dan warga dibebankan untuk melunasinya dengan cara dicicil.
“Kami lewat UNDP, juga pernah mendapat dana CSR dari Bank NTT sebesar Rp 1,36 miliar, ungkapnya.
Marselus mengimbuhkan, pemerintah NTT tahun 2015 juga pernah kasih Rp 70 juta untuk pendirian PLTMH Wae Laban. Namun, nominal ini terbilang kecil karena tiap PLTMH minimal butuh Rp 2-3 miliar. Itu belum termasuk biaya perencanaan dan survei yang menelan anggaran sekitar Rp 150 juta.
Bahkan, jika dijumlah keseluruhan uang hasil swadaya masyarakat yang terkumpul selama ini untuk semua PLTMH bisa mencapai Rp 13 miliar.
Baca juga : Sintas dari Kanker Kolorektal, Kisah Umbu Hidup dengan Kantung Stoma
Memetik Manfaat
Masyarakat tidak hanya berswadaya berupa uang tapi juga tenaga sehingga pengerjaan bisa ditekan waktu penyelesaiannya antara 76 hingga 100 hari.
Lagi-lagi, sebenarnya lamanya penggarapan proyek tergantung pada kesiapan dana yang dibutuhkan. Jika tidak ada dana, pengadaan bahan terhambat dan membuat pembangunan tertunda.
Namun setidaknya, kini sebagian warga NTT bisa bernapas lega. Minimnya akses listrik teratasi berkat PLTMH. Mereka di antaranya adalah warga yang tinggal di Desa Melo, Golo Ndaru, Deno, Leong, dan Arus; Kecamatan Poco Ranaka, Manggarai Timur.
Selain itu mereka yang menghuni Desa Rana Mese, Kecamatan Sambi Rampas. Adapula penduduk dari Kecamatan Elar, Manggarai Timur; Desa Biting, Rana Gapang, dan Kelurahan Tiwu Kondo. Dan warga dari Kecamatan Macang Pacar, Desa Rego.
Anak-anak yang berstatus murid sekolah kini bisa belajar tiap malam. Sebelum listrik tenaga air menyapa desa, biasanya mereka langsung tidur saat hari berakhir. Sebab, gelap lebih sering menemani malam.
“Bagian pentingnya, ada perubahan mental di masyarakat. Dari yang sekadar mengandalkan hadirnya proyek, kini berani swadaya untuk ciptakan proyek,” ujarnya bangga.
Dengan demikian, masyarakat secara tidak langsung terlatih merawat PLTMH. Sebab merasa ikut membangun dan berjuang. Sehingga rasa memilikinya tinggi, kata pria peraih penghargaan energi kategori prakarsa perorangan Kementerian ESDM tahun 2016.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.