KOMPAS.com - Sore di musim panas tahun 2010, Robin Baird, ahli biologi di organisasi nirlaba Cascadia Research Collective sedang melakukan penelitian.
Dia kemudian melihat paus yang bertingkah aneh. Biasanya, paus sangat sosial, pergi berkelompok untuk berburu dan saling berkomunikasi.
Namun ada yang lain dengan paus betina berusia 24 tahun dan anaknya yang berumur 6 tahun. Mereka memisahkan diri dari kelompok dan tidak mencari makan. Di mulutnya, terlihat dia membawa bayi yang sudah tidak bernyawa lagi.
Baird dan rekan-rekannya mengikuti paus itu selama lebih dari enam jam, sesekali kehilangan pandangan karena paus menyelam ke laut. Namun, begitu terlihat si induk masih terus membawa si bayi paus dengan mulutnya atau di atas kepalanya.
Baird menduga jika bayi itu adalah anaknya yang mati sesaat setelah dilahirkan, dan dia bukan satu-satunya peneliti yang menangkap perilaku aneh ini dari paus.
Peneliti lain telah melaporkan hal yang serupa bahwa kelompok cetacean, salah satunya paus, membawa mayat anak-anak mereka.
"Kita tak tahu kenapa," ujar ahli biologi Melissa Reggente yang telah mencatat 14 pengamatan serupa di tahun 2016.
Namun, Baird memunculkan satu kemungkinan yang menarik: Hewan-hewan ini berkabung.
"Saya telah menghabiskan sebagian besar karir untuk mempelajari mamalia sosial, di mana perilaku kelompok sangat penting bagi hidup mereka. Tak diragukan lagi jika hewan-hewan itu memiliki ikatan yang kuat dan tak ada yang lebih memungkinkan jika mereka berkabung saat kehilangan salah satu anggotanya," kata Baird.
Ilmuwan juga mendapati perilaku berkabung pada gajah, jerapah, simpanse dan primata lainnya.
Baca juga : Wikie, Paus Pembunuh Pertama di Dunia yang Tirukan Kata-Kata Manusia
Kaya akan Emosi
Hal tersebut memang sulit dibayangkan, terutama bagi mereka yang menganggap bahwa kesadaran akan kematian adalah sifat manusia yang unik.
Beberapa ilmuwan pun masih skeptis soal pandangan ini, tetapi Charles Darwin ternyata pernah punya pandangan yang serupa bahwa binatang memiliki kehidupan emosional yang kaya, termasuk soal konsep berduka. Namun, pandangan itu tidak berkembang sebagai konsensus ilmiah.
"Pada abad 20, hewan dianggap tidak mengerti soal berkabung. Mereka hidup untuk hari ini saja dan memecahkan masalah hanya untuk bertahan hidup," kata Barbara J King, profesor antropologi emerita di College of William and Mary.
Akan tetapi, yang terjadi di lapangan justru kebalikannya. Antropolog Ursula Moser Cowgill melaporkan ada primata di penangkaran bernama Pottos yang digambarkan sebagai primata yang depresi. Primata itu menyisihkan makanan untuk teman yang sudah mati, walaupun berisiko kelaparan.
Jane Goodall, ahli primata, juga mengamati bagaimana seekor simpanse muda bernama Flint berhenti makan setelah kematian ibunya Flo. Ia mati sebulan kemudian.
Di sisi lain, para peneliti hingga saat ini menghindari bahasa emosi, seperti 'bersedih', karena kemampuan peneliti untuk memahami apa yang terjadi dari sudut pandang hewan sangat terbatas.
Alex Piel, ahli biologi primata di Universitas John Moores, Inggris, mempertanyakan apakah suatu makhluk bisa berkabung tanpa gagasan soal kematian. Menurut dia, makhluk harus mengerti soal hidup untuk memahami soal kematian. "Di situlah kita mengalami masalah, kebanyakan hewan, sejauh yang kita tahu, tidak memiliki kesadaran," katanya.
Argumen itu segera disanggah oleh Carl Safina, ahli ekologi di Stony Brook University yang berpendapat bahwa banyak hewan yang mengerti soal kematian. Sebagai contoh adalah predator yang mengerti perbedaan soal hidup dan mari saat mereka berburu.
Untung saja, beberapa tahun terakhir penelitian mengenai hewan yang bersedih mulai marak dilakukan. Teknologi juga membantu, termasuk kamera pemantauan jarak jauh di tempat-tempat perlindungan satwa liar, sehingga lebih banyak peneliti yang memiliki akses terhadap perilaku yang sebelumnya tak banyak diketahui.
Salah satu cara untuk mempelajari kesedihan adalah dengan mengukur tingkat hormon. Hal inilah yang dilakukan oleh Anne Engh, ahli ekologi perilaku ketika mempelajari babon Chacma di Delta Okavango di Botswana.
Salah satu babon betina bernama Sylvia kehilangan anak perempuannya bernama Sierra. Sejak itu, Sylvia lebih banyak menghabiskan waktu sendirian dan menatap kakinya.
Engh meninjau data hormonal Sylvia melalui sampel tinja secara rutin selama sekitar satu tahun. Hasil yang kemudian dilaporkan pada 2006 dalam Proceedings of the Royal Society B menyebutkan jika ada peningkatan signifikan pada hormon stres yang disebut glukokortikoid. Setelah dua bulan, tingkat hormon itu kembali normal.
Baca juga : Berduka, Monyet Jambul Makan Mayat Anaknya Sendiri
Pasca Berkabung
Temuan lain menunjukkan jika setelah kehilangan, babon lebih sering melakukan kontak fisik dengan lebih banyak kawanannya, "Sepertinya mereka secara aktif mencoba untuk membentuk persahabatan baru," kata Engh.
Meski begitu, Engh mengingatkan bahwa tidak semua spesies cocok dengan penelitian kuantitatif semacam ini. Paus misalnya, sulit untuk diteliti tingkat hormonnya ketika berkabung.
Kekurangan ini membuat pertanyaan "Apakah hewan benar merasa berkabung dan sedih?" masih belum bisa sepenuhnya terjawab.
Namun, beberapa pakar menduga jawabannya "Iya".
"Mungkin ini tidak serumit seperti yang kita pikirkan. Mungkin perilaku pada hewan ini memang ada hubungannya dengan rasa duka yang kita rasakan, meskipun tidak sama persis," ujar Giovanni Bearzi, pakar biolog di Dolphin Biology and Conservation Italia.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.